Yogyakarta (ANTARA News) - Berbagai gerakan dari masyarakat sipil yang mempertanyakan penahanan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan puncak ketidakpercayaan rakyat terhadap penegak hukum.

"Rakyat tampaknya memiliki rasa ketidakpercayaan yang panjang terhadap institusi penegak hukum seperti polisi, dan hal itu mendapatkan momentumnya ketika terjadi penahanan dua pimpinan KPK," kata aktivis antikorupsi yang juga mantan Wakil Ketua Lembaga Ombudsman Daerah (LOD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Budi Santoso di Yogyakarta, Selasa.

Ia mengatakan persoalan penahanan Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah pada kenyataannya sudah membesar dan sulit dikontrol oleh petinggi negara, bahkan bisa berdampak pada bidang lain seperti ekonomi.

"Upaya pemerintah dengan membentuk tim pencari fakta seputar penahanan dua pimpinan KPK hanya solusi sementara, karena justru yang terpenting adalah reformasi di tubuh kepolisian dan kejaksaan," katanya.

Sementara itu, mantan hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta Sahlan Said yang pernah membongkar KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) di lembaganya mengatakan penahanan terhadap Bibit dan Chandra bukan lagi berakar pada masalah hukum, tetapi sudah merupakan penyalahgunaan wewenang penegak hukum.

Beberapa aturan yang terdapat dalam KUHAP, menurut dia juga perlu dibenahi, karena kata-kata di dalamnya mengandung subjektivitas yang bisa diartikan dengan banyak makna.

Misalnya adalah kata "cukup" dan "kekhawatiran" akan melarikan diri yang menjadi syarat untuk melakukan penahanan. "Seharusnya ada parameter-parameter tertentu untuk menggambarkan arti yang sebenarnya dari kedua kata tersebut," katanya.

Begitu pula dengan jumlah alat bukti lebih dari satu, namun tidak diatur mengenai pembobotannya, sehingga memunculkan penafsiran ganda.(*)