Jakarta (ANTARA News) - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menengarai adanya proses pemandulan terhadap KPK, mulai dari upaya memotong kewenangannya hingga penahanan pejabatnya yang kini dalam status nonaktif Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah.

"Ini tentu ada proses pemandulan terhadap kelembagaan KPK itu," kata Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi di Jakarta, Minggu.

Menurut Hasyim, kondisi seperti itu tentu memprihatinkan karena Komis Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam keadaan utuh dan independen saja sebenarnya belum cukup untuk memberantas korupsi di Indonesia yang menggurita dan membudaya.

"Apalagi kalau KPK "dieksekutifkan" melalui perppu, diganti dan diangkat. Bahkan lebih dari itu dipersoalkan," katanya.

Secara terpisah Ketua PBNU Masdar F Masudi menilai penahanan Bibit dan Chandra M terkesan sangat dipaksakan. Menurut Masdar Masudi, penahanan keduanya tidak memiliki landasan yang cukup kuat.

"Penahanan itu sangat lemah dan terasa sekali sangat dipaksakan. Hanya ada alasan obyektif yuridis formal. Namun persyaratan subyektif seperti melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi kejahatan lagi, semua nol besar," katanya.

Menurut Direktur Perhimpunan Pemberdayaan Pesantren dan Masyarakat itu, penahanan tersebut juga semakin menyempurnakan keyakinan publik bahwa memang ada upaya untuk melumpuhkan KPK.

Masdar menilai, pihak yang diuntungkan dengan gerakan kriminalisasi dan delegitimasi KPK adalah para koruptor dan orang-orang yang diuntungkan oleh mereka. Siapa pun setuju bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa.

Ia berharap seluruh masyarakat Indonesia berdoa mendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera mengambil langkah luar biasa dalam membongkar kejahatan yang luar biasa dengan instrumen kelembagaan yang juga luar biasa, seperti KPK.

Sejumlah tokoh masyarakat telah mempertanyakan penahanan Bibit dan Chandra tersebut dan mendesak Presiden untuk membentuk tim independen guna meneliti kasus ini.(*)