Pandemi ciptakan tantangan baru bagi pasukan pemelihara perdamaian
9 Juli 2020 20:51 WIB
Sejumlah prajurit Kontingen Garuda XXXIX-A Congo dan 120 personel Satuan Tugas MTF Kontingen Garuda XXVIII-K Lebanon akan bertugas sebagai pasukan perdamaian PBB di Republik Kongo dan Lebanon, di Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian TNI, Sentul, Bogor, Jawa Barat, Jumat (31/8/2018).ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/kye/aa.
Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 menciptakan tantangan baru bagi pasukan pemelihara perdamaian yang menjalankan misi PBB di sejumlah wilayah konflik.
Menurut Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kementerian Luar Negeri Grata Endah Werdaningtyas, pandemi telah memicu perdebatan diantara negara-negara anggota PBB mengenai mandat pasukan pemelihara perdamaian.
“Ada perdebatan, bagaimana mau menolong warga sipil kalau pasukan kita sendiri dengan peralatan kesehatan yang terbatas tidak dijaga kesehatannya,” ujar Grata dalam seminar daring, Kamis.
COVID-19 juga berdampak pada semakin terbatasnya mobilitas pasukan di lapangan, termasuk patroli, keterlibatan dengan masyarakat, maupun pelatihan pengembangan kapasitas dengan aparat lokal.
Selain itu, ujar Grata, pasukan pemelihara perdamaian menghadapi tuntutan dari pemerintah setempat untuk membantu penanganan pandemi.
Padahal, upaya tersebut membutuhkan kemampuan dan sumber daya baru, serta memiliki implikasi finansial untuk menambah pengadaan alat-alat kesehatan.
“Dan masih ada tantangan disinformasi mengenai pandemi, ancaman teroris di sejumlah misi di mana mereka memanfaatkan situasi pandemi untuk meningkatkan aksi teror,” kata Grata.
Sebagai negara penyumbang pasukan perdamaian terbanyak ke-8 di PBB, Indonesia dinilai perlu memastikan untuk mengirim pasukan terbaiknya ke misi-misi yang aman.
Dalam hal ini, penilaian dari PBB tentang kemampuan negara kontributor pasukan perdamaian dalam penanganan pandemi, termasuk di dalam negerinya, sangat penting untuk memastikan pasukan yang dikirim sehat dan bebas COVID-19.
“Jangan sampai terjadi seperti kasus di Haiti, di mana pasukan perdamaian yang ditempatkan justru membawa dan menularkan penyakit kolera. Pada akhirnya, Haiti harus menderita beban ganda, dengan jumlah kematian akibat kolera lebih tinggi dibandingkan kematian karena gempa bumi,” ujar peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Fitriani.
Pandemi COVID-19, menurut Fitriani, juga menimbulkan persoalan bagi negara-negara donor terbesar seperti Amerika Serikat---yang ekonominya terpukul akibat penanganan wabah dan perang dagang dengan China.
Sementara donor lain seperti negara-negara Eropa yang sangat terpengaruh COVID-19, berpotensi terlambat atau tidak mampu membayar iurannya, yang kemudian akan berpengaruh pada optimalisasi misi perdamaian itu sendiri.
Baca juga: Pasukan perdamaian Indonesia di Lebanon batasi kegiatan selama pandemi
Baca juga: Indonesia-Australia akan kirim pasukan pemelihara perdamaian ke Mali
Baca juga: PBB minta Kongo usut tuntas kasus penyerangan pasukan perdamaian
Menurut Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kementerian Luar Negeri Grata Endah Werdaningtyas, pandemi telah memicu perdebatan diantara negara-negara anggota PBB mengenai mandat pasukan pemelihara perdamaian.
“Ada perdebatan, bagaimana mau menolong warga sipil kalau pasukan kita sendiri dengan peralatan kesehatan yang terbatas tidak dijaga kesehatannya,” ujar Grata dalam seminar daring, Kamis.
COVID-19 juga berdampak pada semakin terbatasnya mobilitas pasukan di lapangan, termasuk patroli, keterlibatan dengan masyarakat, maupun pelatihan pengembangan kapasitas dengan aparat lokal.
Selain itu, ujar Grata, pasukan pemelihara perdamaian menghadapi tuntutan dari pemerintah setempat untuk membantu penanganan pandemi.
Padahal, upaya tersebut membutuhkan kemampuan dan sumber daya baru, serta memiliki implikasi finansial untuk menambah pengadaan alat-alat kesehatan.
“Dan masih ada tantangan disinformasi mengenai pandemi, ancaman teroris di sejumlah misi di mana mereka memanfaatkan situasi pandemi untuk meningkatkan aksi teror,” kata Grata.
Sebagai negara penyumbang pasukan perdamaian terbanyak ke-8 di PBB, Indonesia dinilai perlu memastikan untuk mengirim pasukan terbaiknya ke misi-misi yang aman.
Dalam hal ini, penilaian dari PBB tentang kemampuan negara kontributor pasukan perdamaian dalam penanganan pandemi, termasuk di dalam negerinya, sangat penting untuk memastikan pasukan yang dikirim sehat dan bebas COVID-19.
“Jangan sampai terjadi seperti kasus di Haiti, di mana pasukan perdamaian yang ditempatkan justru membawa dan menularkan penyakit kolera. Pada akhirnya, Haiti harus menderita beban ganda, dengan jumlah kematian akibat kolera lebih tinggi dibandingkan kematian karena gempa bumi,” ujar peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Fitriani.
Pandemi COVID-19, menurut Fitriani, juga menimbulkan persoalan bagi negara-negara donor terbesar seperti Amerika Serikat---yang ekonominya terpukul akibat penanganan wabah dan perang dagang dengan China.
Sementara donor lain seperti negara-negara Eropa yang sangat terpengaruh COVID-19, berpotensi terlambat atau tidak mampu membayar iurannya, yang kemudian akan berpengaruh pada optimalisasi misi perdamaian itu sendiri.
Baca juga: Pasukan perdamaian Indonesia di Lebanon batasi kegiatan selama pandemi
Baca juga: Indonesia-Australia akan kirim pasukan pemelihara perdamaian ke Mali
Baca juga: PBB minta Kongo usut tuntas kasus penyerangan pasukan perdamaian
Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2020
Tags: