Denpasar (ANTARA News) - Aksi terorisme yang terjadi di dunia bukan disebabkan karena faktor agama, melainkan karena adanya pemahaman agama yang keliru dan kemudian diikuti oleh para penganutnya, kata mantan aktivis Jamaah Islamiyah.

Mantan aktivis Jamaah Islamiyah Nasir Abbas dalam sebuah workshop yang digelar Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia DPD Bali di Denpasar, Sabtu mengemukakan, adanya paham yang keliru tersebut akhirnya bisa menyesatkan para pengikutnya dan lahirlah apa yang disebut radikalisme.

"Jadi sama sekali bukan faktor agama, tapi karena paham yang keliru," katanya menegaskan.

Nasir Abbas yang belakangan kerap berbicara di media cetak dan elektronik itu mengemukakan, dalam agama tidak mengajarkan permusuhan dan menanamkan kebencian.

"Akan tetapi karena ada aktor atau pemimpin yang mengajarkan paham keliru dan mereka punya para pengikut setia sehingga mudah melakukan tindakan yang diyakininya, seperti aksi pengeboman," katanya.

Menyinggung aksi terorisme di Indonesia, Abbas melihat, saat ini ruang gerak mereka makin sempit menyusul keberhasilan personel Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri yang sejak 2005 hingga 2009 berhasil menangkap para pelaku pengeboman.

Ia memberikan apresiasi positif atas keberhasilan tugas dari Densus 88 dalam memburu para teroris dan mereka bekerja secara profesional.

Meskipun demikian, Abbas buru-buru mengingatkan agar masyarakat tetap waspada. Menurut dia, tetap saja ancaman terorisme itu selalu ada, hanya kita tidak bisa tahu persis kapan datangnya.

Teroris, katanya, seperti kejahatan lainnya tetap harus diwaspadai dan tidak bisa hilang begitu saja.

Dia mengatakan, dengan ditangkapinya para pelaku teroris, jelas hal ini bakal membuat ruang gerak mereka tidak lagi mudah seperti dulu. Mereka tidak akan lagi memanfaatkan jaringan lewat rekrutmen seperti sebelumnya, namun lebih memilih strategi baru dengan cara memakai jaringan keluarga.

Menurut dia, teroris saat ini akan sulit mempengaruhi atau mengajak orang menjadi pengikut dan mendukung tindakannya itu karena adanya perlawanan masyarakat.

"Kita lihat antipati masyarakat terhadap teroris cukup tinggi, sehingga mereka sulit mendapat tempat lagi," katanya.

Selain itu, katanya, banyaknya sosialisasi pemahaman ataupun ceramah-ceramah keagamaan seraya memberi pencerahan masyarakat yang menyatakan aksi pengeboman seperti dilakukan teroris adalah tindakan keliru sedikit banyak kian menyadarkan masyarakat untuk tidak membenarkan aksi teroris.

Terkait langkah kewaspadaan masyarakat terhadap keberadaan teroris, Abbas menyatakan saat ini tidak bisa mengenali para pelaku teroris berdasar ciri-ciri fisik semata.

"Misalnya, mereka diidentikkan dengan memakai jubah, berjanggut dan lainnya. Ciri fisik tidak ada, kita hanya bisa kenali tingkah lakunya, seperti tidak gaul atau menutup diri," katanya. (*)