Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan penggunaan pasal pemerasan dalam berkas pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah, sesuai dengan fakta hukum.

"Itu berdasarkan keterangan dari Ari Muladi, Anggoro Widjoyo dan testimoni Antasari Azhar," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Marwan Effendy, ketika dihubungi wartawan, di Jakarta, Jumat.

Sebelumnya, dalam pemberitaan di media daring (online) Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri menyebutkan bahwa penggunaan Pasal 12E UU Korupsi junto pasal 15 UU No 31/1999 mengenai pemerasan terhadap kedua pimpinan KPK itu berdasarkan petunjuk dari Kejaksaan.

Kedua pimpinan KPK nonaktif itu saat ini ditahan oleh Mabes Polri.

Jampidsus menyatakan awalnya pihak Polri hanya memasukkan Pasal 23 Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi mengenai penyalahgunaan wewenang, kemudian jaksa peneliti di Kejagung memberikan masukan kenapa tidak dikembangkan sangkaannya kepada pemerasan.

"Jaksa peneliti memberikan masukan kepada Polri, jadi jangan hanya penyalahgunaan wewenang saja (dikenakan kepada dua pimpinan KPK)," katanya.

Koordinator Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKat) Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, mengkhawatirkan penahanan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), merupakan upaya untuk menutup pemberitaan rekaman dugaan rekayasa penetapan tersangka pimpinan KPK tersebut.

"Kita khawatir ada apanya dengan penahanan pimpinan KPK, karena tiba-tiba lahir penahanan," katanya ketika dihubungi ANTARA, di Jakarta, Jumat.

Karena itu, kata dia, penahanan itu patut dipertanyakan mengingat pasal yang disangkakan terhadap kedua pimpinan KPK tersebut, selalu berubah-ubah.

"Banyak yang aneh dengan hal yang disangkakan terhadap kedua pimpinan KPK tersebut," katanya.(*)