Pemohon uji UU Penanganan COVID-19 persoalkan DPD rapat melalui daring
8 Juli 2020 20:05 WIB
Ketua Mahkamah Konstitusi selaku hakim ketua Anwar Usman (tengah) didampingi hakim anggota Enny Nurbaningsih (kiri) dan Wahiduddin Adams (kanan) bersiap memulai sidang putusan perkara gugatan pengujian Perppu No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 yang diajukan sejumlah pemohon di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (23-6-2020). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc.
Jakarta (ANTARA) - Pemohon pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 terkait dengan kebijakan keuangan penanganan COVID-19 mempersoalkan DPD saat rapat pengesahan perppu itu melalui daring.
Pemohon adalah Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) dan perseorangan bernama Desiana Samosir, Muhammad Maulana, dan Syamsuddin Alimsyah.
"Pada saat itu Ketua DPR Puan Maharani memperbolehkan rapat dilakukan melalui streaming di kanal TV Parlemen. Ini akan mempersulit bagaimana untuk memastikan bahwa yang bersangkutan hadir di dalam pengambilan-pengambilan keputusan dan juga rapat-rapat," ujar kuasa hukum pemohon, Violla Reininda, dalam sidang lanjutan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu.
Pemohon menegaskan tidak menolak penggunaan teknologi, khususnya selama pandemi COVID-19, tetapi rapat yang hanya disimak melalui TV itu dinilainya tetap melanggar Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Hal itu lantaran rapat melalui daring tidak dapat memberikan kepastian hukum tentang kehadiran konkret para anggota DPD.
Baca juga: Din Syamsuddin dkk ajukan pengujian UU COVID-19
Baca juga: Anggota DPR RI: Perlu kebijakan luar biasa untuk hadapi wabah
Baca juga: Total lima perkara pengujian UU 2/2020 disidangkan di MK
"Di sini kami hanya ingin mendorong bahwa penggunaan teknologi atau digitalisasi selama masa pandemi sangat perlu. Akan tetapi, perlu ada ketegasan dan juga dasar-dasar hukum yang kuat," kata Violla Reininda.
Menurut pemohon, DPD semestinya dilibatkan dalam pembahasan serta pengesahan karena perppu yang dibahas berkaitan dengan materi pengaturan Undang-Undang APBN, pendidikan, otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta pajak sesuai dengan Pasal 22D Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Dalam pandangan pemohon, produk penetapan perppu adalah rancangan undang-undang sehingga semestinya melibatkan DPD dalam pembahasan untuk mengesahkan atau tidak mengesahkan satu perppu.
Pemohon mendalilkan DPD tidak dilibatkan dalam pembahasan hingga pengesahan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi undang-undang merupakan pelanggaran dalam pengesahan UU Nomor 2 Tahun 2020 sehingga undang-undang itu cacat formil.
Untuk uji materi, pemohon menyoal Pasal 2 Ayat (1) Huruf e Angka 2, Pasal 3 Ayat (2), Pasal 4 Ayat (2), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 10 Ayat (2), Pasal 16 Ayat (1) Huruf c, Pasal 19 Pasal 23 Ayat (1) Huruf a, serta Pasal 27 Ayat (2) dan Ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2020.
Pemohon adalah Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) dan perseorangan bernama Desiana Samosir, Muhammad Maulana, dan Syamsuddin Alimsyah.
"Pada saat itu Ketua DPR Puan Maharani memperbolehkan rapat dilakukan melalui streaming di kanal TV Parlemen. Ini akan mempersulit bagaimana untuk memastikan bahwa yang bersangkutan hadir di dalam pengambilan-pengambilan keputusan dan juga rapat-rapat," ujar kuasa hukum pemohon, Violla Reininda, dalam sidang lanjutan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu.
Pemohon menegaskan tidak menolak penggunaan teknologi, khususnya selama pandemi COVID-19, tetapi rapat yang hanya disimak melalui TV itu dinilainya tetap melanggar Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Hal itu lantaran rapat melalui daring tidak dapat memberikan kepastian hukum tentang kehadiran konkret para anggota DPD.
Baca juga: Din Syamsuddin dkk ajukan pengujian UU COVID-19
Baca juga: Anggota DPR RI: Perlu kebijakan luar biasa untuk hadapi wabah
Baca juga: Total lima perkara pengujian UU 2/2020 disidangkan di MK
"Di sini kami hanya ingin mendorong bahwa penggunaan teknologi atau digitalisasi selama masa pandemi sangat perlu. Akan tetapi, perlu ada ketegasan dan juga dasar-dasar hukum yang kuat," kata Violla Reininda.
Menurut pemohon, DPD semestinya dilibatkan dalam pembahasan serta pengesahan karena perppu yang dibahas berkaitan dengan materi pengaturan Undang-Undang APBN, pendidikan, otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta pajak sesuai dengan Pasal 22D Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Dalam pandangan pemohon, produk penetapan perppu adalah rancangan undang-undang sehingga semestinya melibatkan DPD dalam pembahasan untuk mengesahkan atau tidak mengesahkan satu perppu.
Pemohon mendalilkan DPD tidak dilibatkan dalam pembahasan hingga pengesahan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi undang-undang merupakan pelanggaran dalam pengesahan UU Nomor 2 Tahun 2020 sehingga undang-undang itu cacat formil.
Untuk uji materi, pemohon menyoal Pasal 2 Ayat (1) Huruf e Angka 2, Pasal 3 Ayat (2), Pasal 4 Ayat (2), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 10 Ayat (2), Pasal 16 Ayat (1) Huruf c, Pasal 19 Pasal 23 Ayat (1) Huruf a, serta Pasal 27 Ayat (2) dan Ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2020.
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020
Tags: