Jakarta (ANTARA) - Asisten Deputi Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum dan Stigmatisasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Hasan mengatakan jaringan terorisme mulai merekrut anak-anak melalui media digital.

"Cara baru mereka adalah menggunakan website, media sosial, dan social messenger. Perekrutan dilakukan terbuka dan pembaiatan melalui media," kata Hasan dalam seminar daring yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang diikuti di Jakarta, Rabu.

Hasan mengatakan perekrutan melalui keluarga, pertemanan, ketokohan, dan lembaga keagamaan dengan perekrutan secara tertutup dan pembaiatan secara langsung adalah cara-cara lama jaringan terorisme merekrut anak.

Baca juga: KPPPA: Radikalisme-terorisme mengancam anak-anak
Baca juga: Wapres: Kepulangan anak WNI eks ISIS masih dipertimbangkan


Menurut Hasan, ada beberapa faktor yang menyebabkan anak terlibat radikalisme dan jaringan terorisme. Yang pertama adalah faktor yang paling dekat dengan anak, yaitu keluarga.

"Ada orang tua atau anggota keluarga lain yang mengajarkan paham radikalisme dan terorisme kepada anak," tuturnya.

Faktor berikutnya berasal dari lingkungan, yaitu lingkungan pertemanan dan tetangga yang mengajarkan radikalisme dan terorisme kepada anak.

Hasan mengatakan kemiskinan juga bisa menjadi faktor lain yang menyebabkan anak terlibat radikalisme dan terorisme.

"Mereka dijanjikan gaji, hal-hal berbau materi, atau jaminan seumur hidup agar tertarik masuk ke dalam jaringan terorisme," katanya.

Baca juga: BNPT: Orang tua pegang kendali anak tangkal paham radikal
Baca juga: Perlindungan anak dari radikalisme perlu ditingkatkan, sebut KPAI


Ia mengatakan, anak harus dicegah agar tidak terlibat radikalisme dan terorisme supaya tidak menjadi pelaku tindak pidana terorisme.

Paham radikalisme dan terorisme juga berpengaruh buruk pada tumbuh kembang anak, terutama dari sisi karakter kehidupan bermasyarakat, pemahaman agama, nilai-nilai nasionalisme, dan ideologi.

Radikalisme dan terorisme juga dapat menjadikan anak sebagai korban dan pelaku kekerasan, serta mengalami stigmatisasi dari pelabelan akibat tindak pidana terorisme yang dilakukan orang tua atau anak sendiri.

Baca juga: BNPT: Pelibatan sesama anak muda lebih efektif cegah radikalisme
Baca juga: KPPPA: anak jangan sampai terpapar radikalisme