Mataram (ANTARA) - Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, belum memperbolehkan masyarakatnya menggelar salah satu tradisi pernikahan adat budaya suku Sasak, yakni "nyongkolan", di tengah pandemi COVID-19.

Kapolres Lombok Tengah AKBP Esty Setyo Nugroho yang ditemui di Mataram, Rabu, mengatakan kebijakan itu dikeluarkan berdasarkan kesepakatan bersama pejabat forum koordinasi pimpinan daerah (forkopimda) yang telah didukung oleh tokoh adat setempat.

"Jadi kami dari polres, kodim, pemda, pejabat forkopimda lainnya, sudah sepakat, tokoh-tokoh adat di sana juga mendukung. Karena ini bukan masalah menghalangi budaya atau kebiasaan masyarakat, tapi ini untuk mencegah penularan COVID-19," kata Esty.

Baca juga: Melestarikan kearifan lokal "Gumi Sasak"

Bahkan setiap desa di Kabupaten Lombok Tengah, jelasnya, dengan kesadaran masyarakat yang tinggi akan bahaya penularan COVID-19, sudah jauh hari sebelumnya menjalankan aturan demikian.

"Rata-rata Lombok Tengah sudah punya aturan desa untuk 'nyongkolan'. Jadi saya melihat di Lombok Tengah sudah tertib," ujarnya.

Salah satu pertimbangan kuat munculnya kebijakan tersebut, terkait protokol pencegahan penularan COVID-19 yang masih sulit diterapkan.

"Jadi pernikahannya boleh, tapi 'nyongkolan' belum bisa, karena kita ketahui bersama 'nyongkolan' ini melibatkan banyak orang, sulit kami prediksi jumlah yang turun itu berapa banyak," ucapnya.

Baca juga: Budaya "ngopi" ala Suku Sasak

Namun demikian, kebijakan ini tidak selamanya akan diterapkan. Melainkan pihaknya bersama pemerintah dan juga tokoh adat setempat masih berusaha mencari cara agar "nyongkolan" dapat dilaksanakan dengan menyesuaikan protokol pencegahan penularan COVID-19.

"Mungkin ke depannya boleh dengan catatan khusus tapi tentunya dengan menerapkan protokol COVID-19, pelan-pelan," kata Esty.

Dalam adat budaya suku sasak, tradisi "nyongkolan" menjadi rangkaian yang wajib dilaksanakan dalam proses pernikahan. Menurut tradisi, "nyongkolan" menjadi puncak dari tahapan ritual pernikahan adat budaya suku Sasak.

Acaranya digelar dengan mengarak kedua mempelai layaknya seorang raja dan ratu dengan iringan musik tradisional khas Suku Sasak, "gendang beleq". Tujuannya digelar untuk memperkenalkan pasangan pengantin tersebut kepada masyarakat.

Baca juga: Rinjani, gunungnya Suku Sasak