Pakar: Pemerintah - PLN perlu antisipasi penurunan permintaan listrik
8 Juli 2020 15:35 WIB
Foto udara Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas Uap (PLTMGU) Lombok Peaker berkapasitas total 136 Megawatt (MW) di Tanjung Karang, Mataram, NTB, Senin (16/3/2020). ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/foc.
Jakarta (ANTARA) - Ketua The International Council on Large Electric Systems (CIGRE) Indonesia Herman Darnel Ibrahim menilai pemerintah dan PLN perlu mengambil sejumlah langkah antisipasi penurunan permintaan listrik dari pelanggan dan ancaman kelebihan suplai sehubungan perlambatan ekonomi akibat pandemi COVID-19.
"Ada beberapa langkah yang bisa diambil ketika menghadapi penurunan permintaan dan kelebihan pasokan listrik saat ini. Yaitu berunding dengan pengembang listrik swasta (independent power producer/IPP), penjadwalan ulang proyek pembangkit listrik, menghentikan pembangkit yang sudah berusia tua, dan mencari investor besar yang bisa menyerap daya listrik dalam kapasitas besar," kata Herman di Jakarta, Rabu.
Dikatakan, harus ada yang memikul beban konsumen, yaitu PLN dan negara atau kombinasi antara PLN dan negara, tentu harus ada sesuatu yang dilakukan.
Ia menjelaskan pasar listrik terdiri atas pasar kompetisi dan nonkompetisi. Dalam pasar listrik kompetisi, pelanggan dan perusahaan yang menyediakan jasa layanan listrik tidak akan terbebani pada saat terjadi penurunan demand listrik. Namun, supplier, yaitu pengembang listrik swasta (independent power producer/IPP) harus menanggung beban penurunan tarif listrik.
Di Indonesia menerapkan sistem pasar non kompetisi. Sistem pasar listrik di Indonesia, ketika permintaan turun menjadi risiko bagi konsumen dan perusahaan jasa layanan listrik, seperti PLN atau pemerintah.
Sementara itu, sistem kelistrikan di Indonesia masih terus bertumbuh sehingga perlu campur tangan pemerintah untuk menjamin ketersediaan listrik bagi seluruh rakyat.
Pandemi COVID-19 telah menyebabkan konsumsi listrik turun, terutama untuk golongan industri dan bisnis. Di sisi lain, suplai listrik kemungkinan besar akan ada penambahan. Padahal, dengan asumsi tidak ada penambahan suplai listrik pada saat ini saja, ada potensi kelebihan daya listrik yang bisa menjadi beban PLN.
Dia menggambarkan permintaan listrik turun tetapi suplai bertambah dengan beroperasinya pembangkit baru sehingga biaya listrik atau beban PLN berpotensi naik jika tidak ada yang dilakukan. "Jika mau biaya (tarif listrik dan beban PLN) tidak naik, harus mengambil langkah atau melakukan sesuatu," kata mantan Direktur Transmisi dan Distribusi PT PLN (Persero) ini.
Menurut Herman Darnel, dari sudut pandang bisnis agar risiko konsumen dan PLN tidak terlalu berat, sebaiknya pemerintah sebagai regulator mengambil langkah dan kebijakan. PLN dan IPP bisa duduk bersama untuk berunding terkait dengan kondisi kelistrikan saat ini yang sedang surplus listrik.
"Tentu kalau memungkinan dan bisa, ini bisa dirundingkan antara PLN dan IPP, kalau mau dirundingkan. Itu contoh yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan penurunan permintaan listrik," ujarnya.
Cara lain yang bisa ditempuh, lanjutnya, dengan mengundang investasi. Misalnya bagi investor yang mampu menyerap daya listrik berkapasitas besar diberikan insentif dari pemerintah.
Herman menegaskan bahwa terkait beberapa pilihan itu tetap harus mematuhi regulasi dan hukum. Selain itu, PLN bisa membuat skenario terkait dengan pembangkit listrik yang sudah berusia tua. Dari segi ekonomi, dengan penghentian pembangkit tua, kemudian mengganti dengan pembangkit baru, berapa keuntungan yang diperoleh PLN.
Herman menuturkan megaproyek pembangkit listrik 35.000 MW dirancang dengan skema top down. Oleh karena itu, risiko kelebihan daya/kapasitas seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah atau 50 persen tanggung jawab pemerintah dan 50 persen tanggung jawab PLN.
Pemerintah, sambungnya, perlu memberikan jalan keluar kepada PLN ketika terjadi kelebihan daya listrik untuk menghindari kesulitan keuangan perseroan setrum tersebut.
Baca juga: Pemerintah pastikan keandalan pasokan listrik selama PSBB aman
Baca juga: PLN Cikarang jaga kehandalan listrik selama pandemi COVID-19
"Ada beberapa langkah yang bisa diambil ketika menghadapi penurunan permintaan dan kelebihan pasokan listrik saat ini. Yaitu berunding dengan pengembang listrik swasta (independent power producer/IPP), penjadwalan ulang proyek pembangkit listrik, menghentikan pembangkit yang sudah berusia tua, dan mencari investor besar yang bisa menyerap daya listrik dalam kapasitas besar," kata Herman di Jakarta, Rabu.
Dikatakan, harus ada yang memikul beban konsumen, yaitu PLN dan negara atau kombinasi antara PLN dan negara, tentu harus ada sesuatu yang dilakukan.
Ia menjelaskan pasar listrik terdiri atas pasar kompetisi dan nonkompetisi. Dalam pasar listrik kompetisi, pelanggan dan perusahaan yang menyediakan jasa layanan listrik tidak akan terbebani pada saat terjadi penurunan demand listrik. Namun, supplier, yaitu pengembang listrik swasta (independent power producer/IPP) harus menanggung beban penurunan tarif listrik.
Di Indonesia menerapkan sistem pasar non kompetisi. Sistem pasar listrik di Indonesia, ketika permintaan turun menjadi risiko bagi konsumen dan perusahaan jasa layanan listrik, seperti PLN atau pemerintah.
Sementara itu, sistem kelistrikan di Indonesia masih terus bertumbuh sehingga perlu campur tangan pemerintah untuk menjamin ketersediaan listrik bagi seluruh rakyat.
Pandemi COVID-19 telah menyebabkan konsumsi listrik turun, terutama untuk golongan industri dan bisnis. Di sisi lain, suplai listrik kemungkinan besar akan ada penambahan. Padahal, dengan asumsi tidak ada penambahan suplai listrik pada saat ini saja, ada potensi kelebihan daya listrik yang bisa menjadi beban PLN.
Dia menggambarkan permintaan listrik turun tetapi suplai bertambah dengan beroperasinya pembangkit baru sehingga biaya listrik atau beban PLN berpotensi naik jika tidak ada yang dilakukan. "Jika mau biaya (tarif listrik dan beban PLN) tidak naik, harus mengambil langkah atau melakukan sesuatu," kata mantan Direktur Transmisi dan Distribusi PT PLN (Persero) ini.
Menurut Herman Darnel, dari sudut pandang bisnis agar risiko konsumen dan PLN tidak terlalu berat, sebaiknya pemerintah sebagai regulator mengambil langkah dan kebijakan. PLN dan IPP bisa duduk bersama untuk berunding terkait dengan kondisi kelistrikan saat ini yang sedang surplus listrik.
"Tentu kalau memungkinan dan bisa, ini bisa dirundingkan antara PLN dan IPP, kalau mau dirundingkan. Itu contoh yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan penurunan permintaan listrik," ujarnya.
Cara lain yang bisa ditempuh, lanjutnya, dengan mengundang investasi. Misalnya bagi investor yang mampu menyerap daya listrik berkapasitas besar diberikan insentif dari pemerintah.
Herman menegaskan bahwa terkait beberapa pilihan itu tetap harus mematuhi regulasi dan hukum. Selain itu, PLN bisa membuat skenario terkait dengan pembangkit listrik yang sudah berusia tua. Dari segi ekonomi, dengan penghentian pembangkit tua, kemudian mengganti dengan pembangkit baru, berapa keuntungan yang diperoleh PLN.
Herman menuturkan megaproyek pembangkit listrik 35.000 MW dirancang dengan skema top down. Oleh karena itu, risiko kelebihan daya/kapasitas seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah atau 50 persen tanggung jawab pemerintah dan 50 persen tanggung jawab PLN.
Pemerintah, sambungnya, perlu memberikan jalan keluar kepada PLN ketika terjadi kelebihan daya listrik untuk menghindari kesulitan keuangan perseroan setrum tersebut.
Baca juga: Pemerintah pastikan keandalan pasokan listrik selama PSBB aman
Baca juga: PLN Cikarang jaga kehandalan listrik selama pandemi COVID-19
Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020
Tags: