Mogadishu (ANTARA News/Reuters) - Gerilyawan garis keras Somalia al-Shabaab menghukum mati dua pemuda di depan umum Minggu setelah mereka mengakui melakukan kegiatan mata-mata.

"Kedua orang ini memata-matai pemerintah Islam kita," kata Sheikh Suldan, seorang pejabat al-Shabaab, kepada wartawan di Marka, 100 kilometer sebelah selatan Mogadishu.

"Kami menahan mereka selama tiga bulan. Kami menyelidiki dan mereka mengakui," katanya.

Beberapa saksi mata mengatakan, gerilyawan al-Shabaab menggunakan pengeras suara untuk memanggil penduduk ke sebuah tempat terbuka di dekat kota pelabuhan itu, dimana ratusan orang berkumpul untuk menyaksikan eksekusi tersebut.

Al-Shabaab menerapkan hukum sharia Islam yang ketat di sebagian besar wilayah selatan Somalia dan daerah-daerah Mogadishu, ibukota negara tersebut.

Pengadilan Islam yang dikelola para ulama al-Shabaab memerintahkan eksekusi, pencambukan dan amputasi di sebagian besar wilayah Kismayu dan daerah-daerah Mogadishu yang mereka kuasai.

Juga Minggu, gerilyawan al-Shabaab menutup sebuah organisasi lokal non-pemerintah ASEP, di kota Balad Hawa dekat perbatasan Kenya dan menangkap sejumlah anggotanya, kata penduduk. Satu sumber al-Shabaab mengatakan, pegawai organisasi itu juga dituduh melakukan aksi mata-mata.

Seorang saksi mata di Marka, Ali Hussein, mengatakan, penduduk dipaksa melihat kedua pemuda itu dieksekusi oleh regu tembak.

"Kedua remaja itu dituduh melakukan kegiatan mata-mata, namun kami tidak bisa menilai apakah mereka bersalah," katanya. "Salah satu anak itu tidak segera meninggal, maka sekitar delapan orang bertopeng al-Shabaab mendekat dan menembakinya."

Somalia dilanda pergolakan kekuasaan dan anarkisme sejak panglima-panglima perang menggulingkan diktator militer Mohamed Siad Barre pada 1991. Penculikan, kekerasan mematikan dan perompakan melanda negara tersebut.

Sejak awal 2007, gerilyawan menggunakan taktik bergaya Irak, termasuk serangan-serangan bom dan pembunuhan pejabat, pekerja bantuan, intelektual dan prajurit Ethiopia.

Ribuan orang tewas dan sekitar satu juta orang hidup di tempat-tempat pengungsian di dalam negeri akibat konflik tersebut.

Pemerintah sementara telah menandatangani perjanjian perdamaian dengan sejumlah tokoh oposisi, namun kesepakatan itu ditolak oleh al-Shabaab dan kelompok-kelompok lain oposisi yang berhaluan keras.

Washington menyebut al-Shabaab sebagai sebuah organisasi teroris yang memiliki hubungan dekat dengan jaringan al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden.

Gerilyawan muslim garis keras, yang meluncurkan ofensif sejak 7 Mei untuk menggulingkan pemerintah sementara dukungan PBB yang dipimpin oleh tokoh moderat Sharif Ahmed, meningkatkan serangan-serangan mereka.

Tiga pejabat penting tewas dalam beberapa hari, yang mencakup seorang anggota parlemen, seorang komandan kepolisian Mogadishu dan seorang menteri yang terbunuh dalam serangan bom bunuh diri.

Selain pemberontakan berdarah, pemerintah Somalia juga menghadapi rangkaian perompakan di lepas pantai negara itu.

Pemerintah transisi lemah Somalia tidak mampu menghentikan aksi perompak yang membajak kapal-kapal dan menuntut uang tebusan bagi pembebasan kapal-kapal itu dan awak mereka.

Perompak, yang bersenjatakan granat roket dan senapan otomatis, menggunakan kapal-kapal cepat untuk memburu sasaran mereka.

Perairan di lepas pantai Somalia merupakan tempat paling rawan pembajakan di dunia, dan Biro Maritim Internasional melaporkan 24 serangan di kawasan itu antara April dan Juni tahun lalu saja.(*)