Artikel
Langkah Pemprov Sulteng bangun kesejahteraan masyarakat sekitar hutan
Oleh Muhammad Hajiji
5 Juli 2020 18:58 WIB
Kepala KPH Sivia Patuju, Firmansyah memperlihatkan dua bungkus kopi robusta, sebagai salah satu potensi HHBK di dalam kawasan hutan yang di kelola lewat pelibatan masyarakat/KTH dan Gapoktan. ANTARA/Muhammad Hajiji
Palu (ANTARA) - Masyarakat kelompok tani hutan yang berada di sekitar hutan, menjadi satu komponen yang menggantungkan hidupnya dari potensi hutan, namun tetap membutuhkan jaminan keterbukaan akses dalam rangka mengelola dan mengembangkan potensi tersebut.
Apalagi, sejumlah potensi hutan seperti hasil hutan bukan kayu di antaranya karet, rotan, kelor, jasa lingkungan, agroforestry, jabon dan minyak atsiri, gula aren, kopi, dinilai memiliki peluang pasar yang sangat besar.
Dibutuhkan komitmen dari pemerintah untuk melirik secara utuh potensi-potensi tersebut, dengan mengedepankan skema partisipatif dalam pengembangan dan pemasaran hasil hutan bukan kayu.
Direktur Eksekutif Relawan untuk Orang dan Alam (ROA) Sulawesi Tengah, Moch Subarcha, menyatakan, hal ini tidak lepas dari pendekatan pembangunan berkelanjutan pada sektor perhutanan.
Subarcha memaparkan, pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pilar utama yang menjadi kunci dalam pelaksanaannya yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Selain pembangunan berkelanjutan, terdapat pula konsep pembangunan hijau yang sebenarnya berhubungan dengan pembangunan berkelanjutan.
ROA bekerjasama dengan Non Timber Forest Product (NTFP) serta Green Livelihoods Alliance (GLA) yang bekerja di wilayah landscape Lariang, meliputi wilayah Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi.
Kerja sama berbagai lembaga tersebut selama tiga tahun terakhir adalah memberikan pendampingan dan penguatan kapasitas kelompok petani, usaha dan perempuan di wilayah sekitar Taman Nasional Lore Lindu untuk mendukung upaya-upaya penghidupan hijau berkelanjutan.
Melalui program inklusif dan berkelanjutan di landscape Lariang, mereka telah mendorong pengelolaan hutan secara berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan secara lestari, membangun kelompok usaha berbasis hasil hutan bukan kayu dan membangun kolaborasi antara pihak pemerintah, swasta serta dengan kelompok usaha kecil dan menengah.
Namun demikian, usaha-usaha kecil berbasis produksi hasil hutan bukan kayu mengalami beberapa kendala di antaranya menyangkut proses pemasaran produk, membangun kerjasama dengan pihak swasta, serta dukungan pembiayaan dalam mengembangkan usaha berbasis produk hasil hutan bukan kayu.
Akses Masyarakat
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah berupaya memberikan akses bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan, untuk dapat mengelola potensi hutan, salah satu-nya yakni hasil hutan bukan kayu (HHBK).
"Pemda berupaya mendorong mengenai pemberdayaan dan pemanfaatan potensi-potensi hutan bukan kayu, sesuai dengan kewenangan yang kami miliki berdasarkan undang-undang tentang pemerintahan daerah," ucap Kepala Dinas kehutanan Sulteng, Nahardi.
Nahardi menyebut berdasarkan kewenangan yang diatur dalam undang-undang pemerintahan daerah, maka mengenai perizinan dalam pengelolaan dan pemanfaatan kayu, hal itu menjadi kewenangan pusat.
Hal yang menjadi kewenangan daerah, kata dia, yakni mengenai pemberdayaan dan pemanfaatan potensi hutan dan sekitar hutan, namun bukan kayu.
"Ini yang kami dorong dengan skema partisipatif agar masyarakat terlibat langsung dalam mengelola, serta menjadi penerima manfaat dari potensi hutan dan sekitar hutan, khususnya HHBK dan jasa lingkungan," ucapnya.
Ia menegaskan skema partisipatif dalam kegiatan pemberdayaan, lebih diprioritaskan pada masyarakat yang ada di sekitar hutan, bukan pada skala badan usaha.
Selanjutnya, kata dia, dalam upaya memberikan akses bagi masyarakat sekitar hutan, Pemprov Sulteng membuat satu peraturan daerah nomor 8 tahun 2019 yang diikutkan dengan Peraturan Gubernur Sulteng nomor 44 tahun 2019, yang isinya mendorong kerja sama guna mempercepat pelayanan kepada masyarakat dalam rangka mendukung sumber daya non-kayu.
"Jadi kerjasama itu langsung dengan kelompok masyarakat yang ada di sekitar hutan, salah satunya kelompok yang mengelola HHBK. Nah ini tujuan utamanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, serta ekonomi masyarakat bisa bergerak cepat," ujarnya.
Kemudian lanjut dia, berkaitan dengan pembiayaan, hal itu menjadi tanggungan dari pemerintah daerah, misalnya biaya survei dan pemetaan lokasi.
Terkait dukungan akses bagi masyarakat sekitar hutan mengelola potensi hutan, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Banawa Lalundu, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, menempuh mekanisme kolaboratif yang melibatkan langsung masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam hutan, sebagai upaya mencegah terjadinya perubahan fungsi hutan yang meluas.
Kepala Seksi Perlindungan Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem dan Pemberdayaan Kesatuan Pengelolaan Hutan Banawa Lalundu, Mirwan Lamandura menyatakan, pelibatan masyarakat bertujuan untuk menjaga potensi hutan, sekaligus mendongkrak taraf hidup masyarakat.
Ia menjelaskan bahwa KPH Banawa Lalundu dengan luas area lahan dan hutan kurang lebih 110.000 hektare di dalamnya terdapat lima resort, meliputi Resort Lalundu, Banawa Selatan, Banawa, Pinembani, dan Ulujadi.
Dengan luas lahan dan hutan kurang lebih 110.000 hektare itu, kata dia, di dalamnya terdapat berbagai potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). HHBK yang ada di antaranya, rotan, bambu, damar, kulit kayu gemor, anggrek, aren, tanaman obat obatan, bawang merah hutan dan lain-lain.
Menurut dia HHBK sejauh ini yang telah diolah langsung oleh masyarakat yaitu kelor yang diolah menjadi keripik, teh kelor, kopi kelor serta menjadikan kelor sebagai bahan bahu makanan.
Dukungan keuangan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Sulawesi Tengah berkomitmen bersinergi dengan pemda dalam rangka membantu masyarakat sekitar hutan, agar mendapat akses permodalan melalui bank, dalam rangka mengembangkan potensi hutan salah satunya hasil hutan bukan kayu (HHBK).
Kepala OJK Sulteng, Gamal Abdul Kahar menerangkan potensi usaha hasil hutan bukan kayu di wilayah Sulteng sangat besar, bahkan sektor agroindustri di Provinsi Sulawesi Tengah, memberikan kontribusi PDRB paling besar mencapai Rp41,76 triliun atau 27,73 persen pada tahun 2018.
Dari situ, kata dia, usaha hasil hutan bukan kayu merupakan salah satu sub-sektor agroindustri, yang memiliki potensi ekonomi cukup tinggi, untuk dikembangkan sebagai basis ekonomi kerakyatan. "Namun demikian perhatian pemangku kepentingan terkait belum sepenuhnya mendukung perkembangan usaha HHBK," ujarnya.
OJK, kata dia, memberikan dukungan berupa berbagai cara salah satunya dengan perluasan akses keuangan, yaitu optimalisasi kredit usaha KUR, kredit usaha mikro terhadap potensi-potensi UKM/IKM berbasis hasil hutan bukan kayu.
Lewat perluasan akses keuangan itu, OJK juga mendorong optimalisasi asuransi pertanian. Selain perluasan akses keuangan, OJK juga mendorong penguatan infastruktur keuangan.
Penguatan infastruktur keuangan dilakukan dengan penguatan Badan Usaha Milik Desa (BumDes) di daerah sentral UKM/IKM berbasis hasil hutan bukan kayu.
Kemudian, lanjut dia, OJK juga mendorong literasi dan edukasi keuangan, serta kegiatan asistensi dan pendampingan.
Pasar HHBK
Pembangunan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, dengan skema partisipatif dalam pengelolaan potensi-potensi hutan, juga membutuhkan daya dukung ketersediaan pasar untuk memasarkan potensi hasil hutan.
PT Bangun Palu Sulawesi Tengah (BPST) selaku Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dipercayakan mengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Palu, akan bekerjasama dengan Pemprov Sulteng guna memasarkan potensi hasil hutan bukan kayu.
Direktur Utama PT BPST, Mulhanan Tombolotutu, menyatakan akan menggandeng KPH di wilayah Sulteng dalam rangka pengembangan dan pemasaran hasil hutan non-kayu, sebagai bentuk upaya percepatan pembangunan ekonomi dan taraf hidup masyarakat di sekitar wilayah hutan.
Mulhanan menerangkan, KEK Palu dengan kegiatan utama pengolahan dan ekspor, maka sangat bergantung pada ketersediaan sumber daya hutan bukan kayu dan sumber daya kelautan serta agro dan agribisnis.
Dia mengatakan sejumlah potensi hutan di Sulawesi Tengah, atau di Lembah Palu dan sekitarnya sangat besar, namun potensi itu perlu sentuhan industri agar dapat dikembangkan dengan baik.
Ia meyakini hutan sangat bisa menjadi ladang penghidupan masyarakat, yaitu hutan berfungsi untuk memberikan manfaat penghidupan yang besar kepada masyarakat. Namun, itu bisa tercapai jika hutan termasuk di dalamnya hasil hutan bukan kayu bernilai ekonomis.
"Hutan dan hasil hutan bukan kayu bisa bernilai ekonomis, bila terintegrasi dengan pasar. Nah, untuk bisa terkoneksi dengan pasar, maka dibutuhkan industri yang menyentuh sumber daya hutan termasuk HHBK," sebutnya.
Ia menegaskan, dalam kaitannya dengan pengembangan potensi hutan dan hasil hutan bukan kayu, aspek sosial, ekologi, dan ekonomi harus dipandang sebagai satu kesatuan.
Kerjasama itu nantinya bakal mengembangkan langsung mengenai budidaya hasil hutan bukan kayu, pemanfataannya serta keterlibatan langsung masyarakat di sekitar hutan.
"Industri yang akan dan telah berinvestasi di KEK Palu, sebagian besar berbasis HHBK, bahkan ada yang sementara produksi dan sebagian masih membangun konstruksi," katanya.
Apalagi, sejumlah potensi hutan seperti hasil hutan bukan kayu di antaranya karet, rotan, kelor, jasa lingkungan, agroforestry, jabon dan minyak atsiri, gula aren, kopi, dinilai memiliki peluang pasar yang sangat besar.
Dibutuhkan komitmen dari pemerintah untuk melirik secara utuh potensi-potensi tersebut, dengan mengedepankan skema partisipatif dalam pengembangan dan pemasaran hasil hutan bukan kayu.
Direktur Eksekutif Relawan untuk Orang dan Alam (ROA) Sulawesi Tengah, Moch Subarcha, menyatakan, hal ini tidak lepas dari pendekatan pembangunan berkelanjutan pada sektor perhutanan.
Subarcha memaparkan, pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pilar utama yang menjadi kunci dalam pelaksanaannya yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Selain pembangunan berkelanjutan, terdapat pula konsep pembangunan hijau yang sebenarnya berhubungan dengan pembangunan berkelanjutan.
ROA bekerjasama dengan Non Timber Forest Product (NTFP) serta Green Livelihoods Alliance (GLA) yang bekerja di wilayah landscape Lariang, meliputi wilayah Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi.
Kerja sama berbagai lembaga tersebut selama tiga tahun terakhir adalah memberikan pendampingan dan penguatan kapasitas kelompok petani, usaha dan perempuan di wilayah sekitar Taman Nasional Lore Lindu untuk mendukung upaya-upaya penghidupan hijau berkelanjutan.
Melalui program inklusif dan berkelanjutan di landscape Lariang, mereka telah mendorong pengelolaan hutan secara berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan secara lestari, membangun kelompok usaha berbasis hasil hutan bukan kayu dan membangun kolaborasi antara pihak pemerintah, swasta serta dengan kelompok usaha kecil dan menengah.
Namun demikian, usaha-usaha kecil berbasis produksi hasil hutan bukan kayu mengalami beberapa kendala di antaranya menyangkut proses pemasaran produk, membangun kerjasama dengan pihak swasta, serta dukungan pembiayaan dalam mengembangkan usaha berbasis produk hasil hutan bukan kayu.
Akses Masyarakat
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah berupaya memberikan akses bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan, untuk dapat mengelola potensi hutan, salah satu-nya yakni hasil hutan bukan kayu (HHBK).
"Pemda berupaya mendorong mengenai pemberdayaan dan pemanfaatan potensi-potensi hutan bukan kayu, sesuai dengan kewenangan yang kami miliki berdasarkan undang-undang tentang pemerintahan daerah," ucap Kepala Dinas kehutanan Sulteng, Nahardi.
Nahardi menyebut berdasarkan kewenangan yang diatur dalam undang-undang pemerintahan daerah, maka mengenai perizinan dalam pengelolaan dan pemanfaatan kayu, hal itu menjadi kewenangan pusat.
Hal yang menjadi kewenangan daerah, kata dia, yakni mengenai pemberdayaan dan pemanfaatan potensi hutan dan sekitar hutan, namun bukan kayu.
"Ini yang kami dorong dengan skema partisipatif agar masyarakat terlibat langsung dalam mengelola, serta menjadi penerima manfaat dari potensi hutan dan sekitar hutan, khususnya HHBK dan jasa lingkungan," ucapnya.
Ia menegaskan skema partisipatif dalam kegiatan pemberdayaan, lebih diprioritaskan pada masyarakat yang ada di sekitar hutan, bukan pada skala badan usaha.
Selanjutnya, kata dia, dalam upaya memberikan akses bagi masyarakat sekitar hutan, Pemprov Sulteng membuat satu peraturan daerah nomor 8 tahun 2019 yang diikutkan dengan Peraturan Gubernur Sulteng nomor 44 tahun 2019, yang isinya mendorong kerja sama guna mempercepat pelayanan kepada masyarakat dalam rangka mendukung sumber daya non-kayu.
"Jadi kerjasama itu langsung dengan kelompok masyarakat yang ada di sekitar hutan, salah satunya kelompok yang mengelola HHBK. Nah ini tujuan utamanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, serta ekonomi masyarakat bisa bergerak cepat," ujarnya.
Kemudian lanjut dia, berkaitan dengan pembiayaan, hal itu menjadi tanggungan dari pemerintah daerah, misalnya biaya survei dan pemetaan lokasi.
Terkait dukungan akses bagi masyarakat sekitar hutan mengelola potensi hutan, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Banawa Lalundu, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, menempuh mekanisme kolaboratif yang melibatkan langsung masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam hutan, sebagai upaya mencegah terjadinya perubahan fungsi hutan yang meluas.
Kepala Seksi Perlindungan Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem dan Pemberdayaan Kesatuan Pengelolaan Hutan Banawa Lalundu, Mirwan Lamandura menyatakan, pelibatan masyarakat bertujuan untuk menjaga potensi hutan, sekaligus mendongkrak taraf hidup masyarakat.
Ia menjelaskan bahwa KPH Banawa Lalundu dengan luas area lahan dan hutan kurang lebih 110.000 hektare di dalamnya terdapat lima resort, meliputi Resort Lalundu, Banawa Selatan, Banawa, Pinembani, dan Ulujadi.
Dengan luas lahan dan hutan kurang lebih 110.000 hektare itu, kata dia, di dalamnya terdapat berbagai potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). HHBK yang ada di antaranya, rotan, bambu, damar, kulit kayu gemor, anggrek, aren, tanaman obat obatan, bawang merah hutan dan lain-lain.
Menurut dia HHBK sejauh ini yang telah diolah langsung oleh masyarakat yaitu kelor yang diolah menjadi keripik, teh kelor, kopi kelor serta menjadikan kelor sebagai bahan bahu makanan.
Dukungan keuangan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Sulawesi Tengah berkomitmen bersinergi dengan pemda dalam rangka membantu masyarakat sekitar hutan, agar mendapat akses permodalan melalui bank, dalam rangka mengembangkan potensi hutan salah satunya hasil hutan bukan kayu (HHBK).
Kepala OJK Sulteng, Gamal Abdul Kahar menerangkan potensi usaha hasil hutan bukan kayu di wilayah Sulteng sangat besar, bahkan sektor agroindustri di Provinsi Sulawesi Tengah, memberikan kontribusi PDRB paling besar mencapai Rp41,76 triliun atau 27,73 persen pada tahun 2018.
Dari situ, kata dia, usaha hasil hutan bukan kayu merupakan salah satu sub-sektor agroindustri, yang memiliki potensi ekonomi cukup tinggi, untuk dikembangkan sebagai basis ekonomi kerakyatan. "Namun demikian perhatian pemangku kepentingan terkait belum sepenuhnya mendukung perkembangan usaha HHBK," ujarnya.
OJK, kata dia, memberikan dukungan berupa berbagai cara salah satunya dengan perluasan akses keuangan, yaitu optimalisasi kredit usaha KUR, kredit usaha mikro terhadap potensi-potensi UKM/IKM berbasis hasil hutan bukan kayu.
Lewat perluasan akses keuangan itu, OJK juga mendorong optimalisasi asuransi pertanian. Selain perluasan akses keuangan, OJK juga mendorong penguatan infastruktur keuangan.
Penguatan infastruktur keuangan dilakukan dengan penguatan Badan Usaha Milik Desa (BumDes) di daerah sentral UKM/IKM berbasis hasil hutan bukan kayu.
Kemudian, lanjut dia, OJK juga mendorong literasi dan edukasi keuangan, serta kegiatan asistensi dan pendampingan.
Pasar HHBK
Pembangunan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, dengan skema partisipatif dalam pengelolaan potensi-potensi hutan, juga membutuhkan daya dukung ketersediaan pasar untuk memasarkan potensi hasil hutan.
PT Bangun Palu Sulawesi Tengah (BPST) selaku Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dipercayakan mengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Palu, akan bekerjasama dengan Pemprov Sulteng guna memasarkan potensi hasil hutan bukan kayu.
Direktur Utama PT BPST, Mulhanan Tombolotutu, menyatakan akan menggandeng KPH di wilayah Sulteng dalam rangka pengembangan dan pemasaran hasil hutan non-kayu, sebagai bentuk upaya percepatan pembangunan ekonomi dan taraf hidup masyarakat di sekitar wilayah hutan.
Mulhanan menerangkan, KEK Palu dengan kegiatan utama pengolahan dan ekspor, maka sangat bergantung pada ketersediaan sumber daya hutan bukan kayu dan sumber daya kelautan serta agro dan agribisnis.
Dia mengatakan sejumlah potensi hutan di Sulawesi Tengah, atau di Lembah Palu dan sekitarnya sangat besar, namun potensi itu perlu sentuhan industri agar dapat dikembangkan dengan baik.
Ia meyakini hutan sangat bisa menjadi ladang penghidupan masyarakat, yaitu hutan berfungsi untuk memberikan manfaat penghidupan yang besar kepada masyarakat. Namun, itu bisa tercapai jika hutan termasuk di dalamnya hasil hutan bukan kayu bernilai ekonomis.
"Hutan dan hasil hutan bukan kayu bisa bernilai ekonomis, bila terintegrasi dengan pasar. Nah, untuk bisa terkoneksi dengan pasar, maka dibutuhkan industri yang menyentuh sumber daya hutan termasuk HHBK," sebutnya.
Ia menegaskan, dalam kaitannya dengan pengembangan potensi hutan dan hasil hutan bukan kayu, aspek sosial, ekologi, dan ekonomi harus dipandang sebagai satu kesatuan.
Kerjasama itu nantinya bakal mengembangkan langsung mengenai budidaya hasil hutan bukan kayu, pemanfataannya serta keterlibatan langsung masyarakat di sekitar hutan.
"Industri yang akan dan telah berinvestasi di KEK Palu, sebagian besar berbasis HHBK, bahkan ada yang sementara produksi dan sebagian masih membangun konstruksi," katanya.
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2020
Tags: