Palu (ANTARA) - Alfred (48), seorang Panitia Pemungutan Suara (PPS) di Desa Banggaiba, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, setiap hari menyeberangi dua sungai untuk memverifikasi pendukung bakal calon kepala daerah perseorangan di kabupaten itu.

Satu sungai sudah bisa diseberangi dengan mulus karena sudah ada jembatan, satu sungai lagi harus diseberangi dengan melawan arus air. Jika hujan deras, air sungai ini meluap sehingga sama sekali tidak bisa dilintasi.

Alfred sudah beberapa kali terjebak banjir sehingga harus menunggu air surut baru bisa kembali ke rumahnya, berkumpul bersama istri dan dua anaknya.

Dua sungai itu berada diantara Dusun I dan Dusun II di Banggaiba. Jarak antardusun ini sekitar dua kilometer. Alfred bersama istri dan dua anaknya, bermukim di Dusun II.

"Sementara calon pendukung yang mau diverifikasi faktual, itu hanya ada di Dusun I," kata Alfred.

Baca juga: Ribuan petugas KPU Kabupaten Malang jalani tes cepat COVID-19

Desa Banggaiba, desa paling jauh di kecamatan itu, didiami sekitar 400 wajib pilih pada Pemilu 2019. Untuk kepentingan verifikasi faktual dukungan bakal calon perseorangan pilkada 2020, PPS hanya memverifikasi 31 orang.

Sejak verifikasi dilakukan 24 Juni 2020, Alfred baru bisa memverifikasi 25 orang calon pendukung untuk satu bakal calon bupati perseorangan. Enam sisanya sebagian alamatnya sudah ditemukan, namun belum bisa bertemu orangnya karena tidak ada di tempat.

"Kemarin saya pergi verifikasi satu orang, tapi sepeda motor tidak bisa sampai di rumah warga itu. Akhirnya saya jalan kaki sekitar 500 meter. Jalannya setapak," kata Alfred.

Untuk menembus desa ini butuh perjuangan keras karena tidak bisa dilalui dengan kendaraan roda empat, kecuali sepeda motor yang sudah dimodifikasi menyerupai motor trail.

Menurut Alfred, dengan jarak yang jauh dan rumah yang jarang, menjadi tantangan sendiri bagi pemilih menuju TPS pada hari pungut hitung. Kondisi itu sudah berlangsung dari pemilu ke pemilu.

Baca juga: KPU Banjamasin ungkap 21 orang PPS-PPK reaktif saat "rapid test"

Untuk menuju TPS, pemilih butuh waktu satu hingga dua jam dengan berjalan kaki. Solusinya TPS harus ditambah sehingga mendekatkan pemilih untuk menyalurkan hak politiknya.

Usulan perubahan TPS tersebut, tidak bisa langsung diputuskan saat itu juga. Alfred harus menyurat dulu ke PPK. Urusan mengantar surat ke ibu kota kecamatan, Alfred harus menghadapi lagi tantangan alam.

Alfred selama melaksanakan tugasnya sebagai PPS, dirinya belum tahu berapa honor yang harus ia terima. Ia mengaku baru terima honor operasional untuk kepentingan verifikasi. Alfred enggan menyebut jumlah honor yang ia terima itu.

Tiga anggota Petugas Pemungutan Suara (PPS) mengenakan batik dibawah bukit sedang mengikuti proses pelantikan secara virtual dilaksanakan oleh KPU Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Senin (15/6/2020). ANTARA/HO-KPU Tator/am.


"Saya tidak tahu berapa honornya, saya hanya kerja saja apa yang bisa saya kerja," katanya.

Selain Banggaiba, empat desa tetangganya juga mengalami nasib yang sama yakni Winatu, Rantewulu, Towulu, dan Desa Siwongi. Dari lima desa itu hanya Banggaiba yang bisa berkomunikasi melalui jaringan telepon genggam.

Di Kabupaten Sigi, tidak hanya di Kulawi yang memiliki desa terpencil, tetapi juga di Kecamatan Pipokoro dan Lindu. Di sini sebagian desanya hanya bisa dilalui sepeda motor dengan kondisi medan yang terjal, sempit, dan bebatuan.

Baca juga: Verifikasi faktual pilkada serentak di Sulteng terhambat cuaca ekstrem

Besarnya tantangan yang dihadapi petugas PPS justru menjadi kebanggaan bagi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) karena tidak semua orang bisa menaklukkan medan yang sulit untuk kepentingan pembangunan demokrasi di tanah air.

"Berjuang untuk sukseskan pilkada itu yang bikin bangga. Kita diajak bekerjasama untuk menghadapi tantangan yang ada. Ini yang bikin kami bangga," kata Fadly, anggota PPK Kecamatan Kulawi.

Bagi Fadly dan sahabatnya komisioner PPK dan PPS bertugas sebagai panitia penyelanggara pemilu tidak semua orang bisa melakukan itu dengan sungguh-sungguh apalagi bekerja di desa dengan medan yang cukup berat.

Soal honor, Fadly enggan membicarakannya. Tapi menurutnya, PPS yang setiap desa tiga orang diberi honor setiap bulan sampai nanti berakhirnya pilkada serentak.

Sampai hari ke-11 verifikasi faktual, PPS di wilayah itu telah memverifikasi 77 persen dari 1.467 calon pendukung yang harus diverifikasi.

Baca juga: Puluhan PPK-PPS di Sultra mengundurkan diri

Rezim pilkada butuh komunikasi yang lancar dan cepat, tidak saja untuk kepentingan verifikasi tetapi juga pelaporan hasil pungut hitung. Desa-desa yang tidak memiliki jaringan telepon juga ikut menghambat kelancaran kegiatan.

Menurut Fadly, untuk mendapatkan laporan harian dari PPS yang tidak bisa terhubung dengan jaringan telepon, kerjanya cukup berat.

Mereka harus menyeberang ke desa tetangga lagi dengan melintasi medan jalan yang rusak, sempit, dan terjal.

"Mereka harus ke desa yang ada jaringan teleponnya baru bisa menyampaikan laporan ke PPK, selanjutnya baru kami laporkan ke KPU," kata Fadly.

Komisioner KPU Sigi, Anhar Lasingki mengakui sejumlah kendala yang dihadapi tim verifikasi faktual dukungan calon perseorangan untuk menembus desa-desa terpencil. Selain kondisi medan yang berat, faktor cuaca juga ikut menentukan.

"Kalau COVID-19 tidak ada kendala, semua bisa kita lakukan sesuai standar kesehatan COVID-19, tapi justru curah hujan tinggi menjadi kendala utama kami," kata Anhar.

Baca juga: Anggota PPK dan PPS mundur, KPU Kepri sebut tak ganggu tahapan Pilkada

Setelah lolos dari medan jalan yang sulit dan menerobos cuaca buruk, kendala petugas PPS berikutnya tidak ditemukannya calon pendukung yang akan diverifikasi. Ada yang pergi ke kebun, pindah alamat, bahkan ada yang sudah meninggalkan desanya. Di wilayah-wilayah berbasis pertanian, para petugas PPS melakukan verifikasi sore bahkan di malam hari.

Di Sigi terdapat satu pasang bakal calon dari perseorangan. Selain di Sigi juga terdapat satu bakal pasangan calon di Poso, Tojo Unauna, dan di Kabupaten Banggai dua pasang bakal calon.

Anhar mengatakan Kabupaten Sigi yang sebagian besar wilayahnya berada di pegunungan seperti di Kulawi, Kulawi Selatan, dan Lindu semakin menambah berat proses verifikasi.

"Sudah cuaca buruk, kadang orang yang diverifikasi tidak ada di rumah. Terpaksa kita harus menunggu lagi sore atau bahkan ada yang ditemui malam hari," katanya.

Sejumlah kendala tersebut mengakibatkan verifikasi faktual di daerah tertentu berjalan lambat.

Tulang punggung pemilu

Pakar politik dari Universitas Tadulako Palu Dr Darwis MSi mengatakan para petugas PPS merupakan ujung tombak sekaligus tulang punggung sukses tidaknya pelaksanaan pemilihan umum, karena merekalah yang bersentuhan langsung dengan pemilih.

Baca juga: KPU Tana Toraja lantik petugas PPS secara virtual

Mereka pantas diberi apresiasi oleh negara dalam penyelenggaraan proses demokrasi di tanah air. Mereka tidak saja bergelut dengan data-data pemilih dan hasil suara, tetapi juga memikul risiko sosial karena bisa jadi sasaran amukan orang yang merasa dirugikan.

"Padahal mungkin karena dia lelah, sedikit terjadi kesalahan, maka mereka bisa jadi sasaran amukan orang, padahal mereka sudah bekerja siang malam dengan meninggalkan keluarga," katanya

Darwis mengatakan kasus Pemilu 2019 yang menyebabkan banyak petugas pemilu yang meninggal dunia mestinya jadi pelajaran berharga yang sampai kini belum diketahui pasti penyebabnya.

Para petugas di lapangan ini seharusnya mendapat fasilitas yang layak, jaminan kesehatan, asuransi dan gaji yang layak. Mestinya mereka mendapat hak istimewa. Ini yang mestinya menjadi perhatian serius dari penyelenggara dan pemerintah, katanya.

"Adakah anggota KPU yang meninggal pada Pemilu 2019 kemarin, kan tidak ada, justru yang meninggal itu mereka yang di TPS," katanya.

Darwis berharap tetesan keringat para pekerja pemilu di tingkat desa sebagai tulang punggung pelaksanaan pemilu sudah saatnya mendapat imbalan yang pantas karena setiap proses demokrasi pilkada maupun pemilu kata sama saja tanggungjawabnya.