Solo (ANTARA News) - Klausul pencemaran nama baik dalam produk perundang-undangan harus dihapuskan karena bertentangan dengan prinsip kebebasan mengemukakan pendapat, kata Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Hendrayana, Kamis.

Dalam seminar "Mengkritisi substansi UU ITE dalam kaitan hak informasi publik dan perlindungan konsumen" di Solo, dia
menyebut klausul itu sebagai senjata bagi pemilik kekuasaan untuk menyerang balik pihak yang diposisikan sebagai lawan, termasuk dalam Undang-Undang No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

"Banyak negara bahkan sudah menghapus pasal pencemaran nama baik dari hukum pidana mereka. Keberadaan pasal pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) hanya membelenggu kebebasan berekspresi publik online dan blogger. Artinya, bertentangan dengan pasal 28 UUD 1945," katanya.

Timor Leste yang menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) warisan kolonial Belanda saja berani menghapuskan pasal itu, katanya membandingkan.

"Tak ada jeleknya Indonesia mengikuti jejak Timor Leste," kata Hendrayana.

Sementara itu, Direktur Information and Communications Technology (ICT) Watch Jakarta Donny BU menyarankan komunitas online Indonesia melakukan gerakan bersama menuntut penghapusan Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

"Itu pasal karet yang kontraproduktif bagi pemenuhan hak-hak publik untuk melakukan kontrol," katanya.

Donny dan Hendrayana sepakat bahwa kasus Prita Mulyasari adalah contoh betapa peradilan lebih berpihak kepada pemodal dibandingkan hak pasien mendapatkan pelayanan yang baik dari lembaga yang seharusnya melayani publik.

Suara senada disampaikan dosen Jurusan Komunikasi UNS, Mursito, yang menyebut gugatan klaim nama baik cenderung dilakukan pihak-pihak berkuasa, baik modal mupun politik, yang merasa diusik.

"Anehnya, kebanyakan dari mereka yang mengklaim nama baiknya terganggu adalah justru pihak-pihak yang sedang memiliki persoalan dengan reputasinya sendiri," kata Mursito.

Kasus Prita, misalnya, menunjukkan manajemen rumah sakit merasa terancam oleh dampak negatif keluhan bekas pasiennya itu. "Kalau hak-hak Prita dipenuhi, tidak mungkin muncul keluhan seperti itu. Anehnya, untuk sebuah keluhan, ia berhadapan dengan ancaman penjara pula," katanya.

Prita dijerat dengan pasal berlapis terkait dengan pencemaran nama baik, yakni pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan ancaman enam tahun penjara dan/atau denda satu miliar, serta dan pasal 310 dan 311 KUHP.

Hendrayana menilai UU ITE mestinya lebih menekankan pada soal perlindungan konsumen yang melakukan transaksi elektronik, seperti menyangkut tanda tangan elektronik dan jual-beli secara online.

"Saya curiga pasal itu sengaja dimasukkan untuk menakut-nakuti pengguna internet dalam menyuarakan pendapat," ujar Hendrayana. (*)