Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perindustrian melalui unit penelitian dan pengembangan (litbang) berupaya mengangkat potensi terak atau slag nikel agar bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku industri, yang selaras dengan kebijakan pengelolaan lingkungan yang baik atau program circular economy (ekonomi berkelanjutan).

"Balai-balai kami telah memiliki teknologi, peralatan dan sumber daya manusia yang memadai dalam kegiatan pengujian, penelitian, penyusunan standar, maupun konsultasi dalam rangka penanganan slag nikel," kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin Doddy Rahadi lewat keterangannya yang diterima di Jakarta, Kamis.

Baca juga: Litbang Kemenperin aktif ciptakan inovasi pendukung substitusi impor

Doddy menyampaikan terdapat empat unit litbang Kemenperin yang telah berperan langsung terhadap penanganan slag nikel, yaitu Balai Besar Logam dan Mesin (BBLM) Bandung, Balai Besar Keramik (BBK) Bandung, Balai Besar Bahan dan Barang Teknik (B4T) Bandung, serta Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri (BBTPPI) Semarang.

"Saat ini, jumlah produksi slag nikel di Indonesia mencapai 13 juta ton per tahun," ungkapnya.

Slag peleburan logam memiliki potensi besar untuk digunakan sebagai bahan baku semen, konstruksi, infrastruktur jalan, maupun didaur ulang kembali sebagai bahan baku baja.

Doddy menambahkan pada akhir 2019, telah terbit standar nasional Indonesia (SNI) tentang material pilihan terak (slag) nikel hasil tanur listrik (electric furnace).

SNI ini turut disusun oleh Kemenperin untuk mendukung pengembangan standar slag nikel dan sebagai solusi pengelolaan slag nikel.

"Keberadaan SNI ini juga dimaksudkan sebagai acuan untuk mengoptimalkan penggunaan slag nikel sebagai agregat, pengganti agregat alami dan penggunaan lainnya," imbuhnya.

Sementara itu, Direktur Industri Logam Kemenperin Dini Hanggandari mengemukakan di negara lain seperti Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara Uni Eropa, slag untuk nikel, aluminium, dan tembaga tidak dikategorikan sebagai limbah B3 dan diperlakukan sebagai bahan baku.

"Saat ini, beberapa industri smelter sudah melakukan pemanfaatan slag untuk internal perusahaan, tetapi volume yang dimanfaatkan sangat kecil dibandingkan slag nikel yang dihasilkan. Untuk itu, diperlukan jalan keluar bersifat win-win solution tanpa melanggar aturan yang berlaku," tuturnya.

Direktur Verifikasi Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3 Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Achmad Gunawan Widjaksono menyampaikan sesuai Pasal 54 PP 101 Tahun 2014, pemanfaatan limbah B3 dapat berupa substitusi bahan baku, substitusi sumber energi, bahan baku, dan lainnya sesuai iptek.

"Khusus untuk empat sumber limbah B3 (slag nikel, fly ash, steel slag, dan spent bleaching earth) diberikan kemudahan untuk bisa dikecualikan sebagai limbah B3 atau sebagai by product," ujarnya.

Sedangkan, Deded Permadi Sjamsudin, selaku Direktur Bina Teknik Jalan dan Jembatan Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menjelaskan slag nikel memiliki senyawa kimia yang mirip dengan senyawa kimia pada agregat alam yang umum digunakan sebagai material konstruksi sehingga berpotensi digunakan sebagai material konstruksi dan mengurangi eksploitasi alam.

Sementara itu, Aladin Sianipar, mewakili Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) menyebutkan beberapa contoh produk yang berbahan dasar slag nikel di antaranya adalah batako, beton pracetak dan siap cetak, road base dan lapangan, pembenah tanah, media tumbuh dan pupuk, mortar dan semen slag, semen portland komposit, serta geopolimer semen.

"Pada dasarnya, slag nikel merupakan kelompok mineral nonlogam yang dapat dikelompokkan sebagai mineral olivine, yaitu merupakan bahan galian nonlogam atau kelompok galian pasir dan batuan," ungkapnya.

Baca juga: Kemenperin genjot hilirisasi, gaet investasi dan tingkatkan ekspor
Baca juga: Presiden ingin promosikan nikel Indonesia dalam Hanover Messe Jerman