Jakarta, (ANTARA News) - Agar terdengar afdol oleh telinga nurani dan hati bening, maka kata fulitik yang dicomot dari glosari Betawi, hendaknya diucapkan oleh si Fulan dengan memonyongkan mulut.

Si Fulan pada Oktober melafalkan fulitik di tengah isu yang membetot perhatian publik seputar warna-warni penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II.

Oktober sumringah di tengah selang-seling musim kemarau dan musim hujan. Dengan berbusana batik dan bersulang senyum, sejumlah calon menteri berduyun ke Puri Cikeas Bogor.

Predikatnya, para calon menteri periode 2009-2014 itu beraudisi dalam seleksi menteri. Ujaran simpelnya, keren karena mereka menjalani urut-urutan ritus yang kelak menjadikannya sebagai "manusia baru".

Sebelum menyandang gelar sebagai manusia terpercaya dan manusia terpilih, para calon menteri itu memenuhi kredo bahwa yang tertinggi tidak mungkin ada tanpa ada yang rendah.

Bukan omong kosong bila kredo itu dipungut dari antropolog Victor Turner. Disediakanlah tahap demi tahap seleksi bagi mereka yang disebut sebagai mereka yang ternominasi.

Sebut saja, melakoni uji kepatutan dan kelayakan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meneken pakta integritas dan kontrak kinerja, mengikuti wawancara dengan Yudhoyono dan Boediono, menjalani tes kesehatan fisik dan jiwa. Puncaknya, mereka bakal diumumkan dan dilantik sebagai menteri.

Bagaimana tidak sumringah? Setelah mendengan namanya disebut sebagai menteri untuk lima tahun mendatang, dan menerima pelantikan sebagai para pembantu presiden, maka hati mengangkasa ke langit ketujuh.

Baik media massa cetak maupun elektronika berduyun-duyun mewartakan para calon menteri yang sumringah. Ada yang membagankan profil calon menteri, berapa banyak dari kalangan perempuan, berapa dari kalangan pria; dari sisi jenjang pendidikan, dari usia, asal partai dan non partai serta dari kelompok tim sukses. Tujuannya, ya itu tadi... mengartikulasikan kata sumringah sepenuh-penuhnya.

Ingin juga melihat wajah sumringah di tengah gemuruh berita mengenai para calon menteri? Baca, simak kemudian batinkan percik makna dari gambar Wakil Presiden Jusuf Kalla yang melambaikan tangan dari mobil saat meninggalkan kantornya di Istana Wapres, Jakarta, Senin (19/10). Dengan jendela kaca terbuka, pewarta foto mengambil gambar JK yang menyunggingkan senyum.

Lagi-lagi publik dibuat sumringah dengan gaya bicaranya yang ceplas-ceplos. Ketika merespons pendapat orang bahwa peran wapres di bawah JK kerapkali melampaui batas, ia menyatakan, "Kalau berdiam diri dan jadi ban serep, itu tidak bantu mobilnya. Hanya siap-siap saja kalau bannya kempes. Itu berarti berharap jelek. Kira-kira kapan tidak bisa jalan, baru bisa mengganti".

Tidak sebatas kata-kata, hati publik dibelai sihir sumringah ketika mulai Selasa (20/10), JK akan menjalani kehidupan sehari-hari seperti layaknya masyarakat lain. Ini mengemuka ketika JK kembali ke kediaman pribadinya di Jl Brawijaya No.6, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, setelah menghadiri pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono.

Ia kembali ke kediamannya dengan menggunakan mobil plat hitam bernopol B 2749 BQ. JK dan keluarga berangkat dari kediaman dinas resmi Wapres di Jl Diponegoro dengan menggunakan mobil dinas Wapres bernomor polisi RI 2.

"Saya jalani kehidupan biasa saja," kata Kalla saat bertemu dengan para pemred media massa Editors Club. "Untuk politik saya tidak lagi. Saya kurangi, karena puncak-puncak politik sudah saya capai. Ketua Umum Golkar sudah. Wapres sudah," katanya.

Dengan mengutip pada sastrawan dan filsuf Franz Kafka, bagaimana membaca fulitik sumringah saat menjejak dua fenomen pada Oktober 2009? Sumringah tetap menyimpan misteri, memuat teka-teki bagi pembaca. Menurut Kafka, pembaca hendaknya dapat menemukan sesuatu untuk dirinya sendiri.

Kalau saja publik melakonkan diri sebagai seorang penulis teks, maka sang penulis tidak hanya hidup "demi" karyanya, tetapi juga hidup dalam karyanya. Dan pertanyaan mengapa dan bagaimana justru tidak menemukan jawabannya. Kafka menggunakan anonimitas. Bukankah hidup disesaki oleh anonimitas? Tinggal misteri dan tinggal teka-teki.

Abstrak? Kurang mendarat di pelabuhan hidup keseharian. Silakan ikuti pernik "fulitik sumringah" yang terpampatkan dalam dua novel populer yang digandrungi para Anak Baru Gede (ABG). Istilahnya, novel teenlit. "Skenario Dunia Hijau", tulisan dari Sitta Karina. "Dia Tanpa Aku", buah karya Esti Kinasih. Kedua penulis memanggungkan topik sumringah dengan langgamnya masing-masing.

Dengan memungut isu "go green" yang sedang ngetren, novelis perempuan Sitta Karina mengambil pisau kritisisme untuk membedah komersialisme terselubung, dalam perumahan green living, hipermarket yang gembar-gembor go green, sampai tas belanjaan dari kertas daur ulang.

Penulis bertanya dalam tokoh Cempaka, "...bukan barang saja yang harus didaurulang, tapi juga pola pikir kita dalam menyikapi sesuatu." Dan kritisisme Cempaka mendarat kepada praktik hidup sehari-hari. "...paradigma Cempaka berubah, dari yang tadinya naik lift, sekarang ia menikmati naik tangga secapek apa pun sesudahnya.

Bahkan Cempaka juga baru tahu bahwa panas dari mesin kendaraan berperan aktif meningkatkan pemanasan global," tulis Karina dalam novel setebal 198 halaman itu.

Sementara, Esti Kinasih membalut kritisisme dengan kisah kasmaran bergaya ABG. Dikisahkan bahwa Ronald, murid kelas 2 SMA, memendam bara asmara dengan Citra yang masih kelas 3 SMP. Sayangnya, Ronald belum mau PDKT. Ia menanti sampai Citra masuk SMA, karena itu ia hanya bisa mengamati pujaan hatinya itu dari kejauhan.

Dalam beberapa nukilan peristiwa, penulis memproklamasikan kritisisme terhadap kekerasan yang merebak saat masa orientasi siswa (MOS), dan anti narkoba. Isu aktual yang menyimpan getar sumringah mengemuka ketika manjawab soal keseharian agar pembaca disentak kritisisme.

"Bangku itu telah kosong...Tinggal dalam kenangan. Hanya dalam ingatan. Semua tawa dan pertengkaran. Semua lelucon dan keisengan konyol. Semua cerita dan rahasia. Semua dukungan dan pengertian. Sampai kesedihan ini akhirnya hilang. Sampai kekosongan ini berangsur tersembuhkan," tulis Kinasih.

Ketika memungut fulitik sumringah, masihkah si Fulan berkubang dengan misteri, berkutat dengan teka-teki? Kritisisme versi teenlit selalu punya jawabannya sendiri-sendiri.

"Dan Cempaka pun mengangguk setuju. Ternyata semua orang berusaha menciptakan hijaunya daun mulai dari hati masing-masing, ya?" Itu nukilan dari Karina yang bercanda ria dalam panorama fulitik teks. Ini bukan-opera-sabun! (*)