Jakarta (ANTARA News) - Kalangan importir minta pejabat yang berwenang turun tangan mengakhiri kesewenangan pejabat fungsional pemeriksa dokumen (PFPD) Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea Cukai (BC) Tanjung Priok dalam menentukan nilai pabean yang diajukan importir.

"Sejak pemberitaan buruknya pelayanan KPU BC Tanjung Priok di media massa, khususnya yang berkaitan dengan penetapan nilai pabean oleh PFPD. Sejak itu ada beberapa orang PFPD KPU Tanjung Priok merespons secara negatif dengan menetapkan nilai pabean tertinggi yang ada dalam database Bea Cukai di PIB (pemberitahuan impor barang) yang diajukan oleh para importir," kata Budiman, importir tekstil dan alat berat kepada wartawan di Jakarta, Selasa.

Menurut Budiman, jika kondisi tersebut didiamkan akan berdampak negatif bagi perbaikan ekonomi Indonesia karena dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang dipikul oleh pengguna jasa kepabeanan.

Untuk itu, katanya, para importir mengimbau agar pejabat yang berwenang turun tangan untuk mengakhiri kesewenang-wenangan itu .

"Kami sangat berharap pejabat berwenang segera turun tangan mengakhiri kesewenang-wenangan ini," kata Budiman.

Dilaporkan bahwa Kepala KPU Bea Cukai Tanjung Priok Rahmat Subagyo yang dihubungi mengatakan, jika memang ada keluhan, pihak importir dipersilakan memberitahukan nomor dokumennya atau melalui asosiasi agar pihaknya dapat mengevaluasi dan memberi penjelasan kepada yang bersangkutan.

Berkaitan dengan kinerja Ditjen Bea dan Cukai, Budiman menjelaskan, Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) yang merupakan asosiasi dari importir pernah minta kepada Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution segera mengaudit hasil penerimaan Ditjen Bea Cukai dari para importir sebesar Rp5,42 trilliun yang dianggap GINSI sebagai sebuah hasil pemerasan.

Dalam suratnya kepada Ketua BPK Anwar Nasution itu, GINSI menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 yang kemudian diamandemen menjadi UU No 17 tahun 2006 menyebutkan bahwa "nilai pabean untuk penghitungan bea masuk adalah nilai transaksi dari barang yang bersangkutan".

Pada setiap pelaksanaan impor, importir mengisi PIB dengan mencantumkan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi yang sebenarnya yang didukung oleh dokumen otentik seperti sales contract, invoice, bill of lading dan bukti transaksi ke pemasok.

Namun, kantor pelayanan Bea dan Cukai di seluruh pelabuhan menetapkan nilai pabean secara sepihak dan tidak transparan berdasarkan database Ditjen Bea Cukai yang selalu ditetapkan lebih tinggi daripada nilai transaksi yang sebenarnya yang diajukan oleh importir.

Database yang dimiliki Bea Cukai tersebut sama dengan harga patokan yang dilarang digunakan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dengan demikian Bea Cukai telah melanggar UU Nomor 10 tahun 1995 yang telah diamandemen menjadi UU Nomor 17 tahun 2006.

GINSI juga menyebutkan, dengan ditetapkannya nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk berdasarkan database yang lebih tinggi, maka importir dirugikan karena dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 1.000 persen dari Bea Masuk yang kurang dibayar. (*)