Pengamat: Pemanggilan Menteri "Pertunjukan Politik" SBY
19 Oktober 2009 13:02 WIB
Pembantu Rektor I Universitas Lambung Mangkurat Gusti Muhammad Hatta (kiri) berjalan bersama Andi Malarangeng seusai mengikuti uji kelayakan dan kepatutan calon menteri atau pejabat negara oleh Presiden terpilih 2009-2014 (18/10). (ANTARA/Widodo S. Jusuf)
Jakarta,(ANTARA News) - Pemanggilan para calon menteri oleh Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di kediamannya di Puri Cikeas, Bogor, hanyalah sebagai "pertunjukan politik" untuk menarik perhatian masyarakat, kata seorang pengamat.
"Saya lihat, SBY seperti berhasil menghipnotis masyarakat dengan `pertunjukan politik` yang luar biasa. Meski pada akhirnya SBY tetap menyimpan misteri tentang siapa calon menterinya dan akan duduk di `pos` mana," kata pengamat politik dari Universitas Paramadina Jakarta, Burhanuddin Muhtadi yang dihubungi di Jakarta, Senin.
Burhanuddin Muhtadi yang juga peneliti senior Lingkaran Survei Indonesia (LSI) itu mengatakan, SBY cukup berhasil "melibatkan" publik dalam proses mencari calon menteri, karena setidaknya masyarakat menjadi tahu siapa-siapa saja nama calonnya karena prosesnya terbuka.
Namun, katanya, jika dilihat dari sisi negatifnya, sebenarnya apa yang dilakukan SBY itu hanya membuka "kulit-kulitnya" saja, sementara isi pembicaraan sebenarnya menyangkut posisi menteri dengan para calon, tidak diketahui publik.
Dikatakannya, seperti pada 2004 lalu, kali ini SBY pun melakukan rekrutmen calon menteri dengan metode yang kurang lebih sama, namun ditambah dengan persyaratan "medical chek up" dan penandatanganan kontrak kerja serta pakta integritas.
Padahal, lanjutnya, dalam sistem pemerintahan presidensial murni, pemilihan menteri menjadi hak prerogatif presiden dan biasanya dilakukan secara tertutup, termasuk ketika masa Presiden Megawati, Gus Dur, Habibie, maupun Soeharto, tidak ada proses pelibatkan publik seperti yang dilakukan SBY.
"Setidaknya ada kesengajaan yang dilakukan SBY untuk membuka proses itu, meski hanya `kulit`-nya saja. Tetapi yang menarik, apakah metode yang kompleks seperti yang dilakukan SBY itu mampu memberi jaminan atas kualitas para calon menterinya?," katanya.
Menurut Burhanuddin, pada 2004 hal itu tidak menjamin, karena pada periode pertama Kabinet Indonesia Bersatu, kualitas para menterinya tidak istimewa sehingga sampai dua kali dirombak, pada 2005 dan 2007.
Jika melihat figur-figur calon menteri yang telah dipanggil, Burhanuddin menilai, SBY lebih banyak mempertimbangkan faktor stabilitas pemerintahan lima tahun mendatang, ketimbang soal kompetensi dan keahlian calon menterinya.
"Saya melihat ada nuansa akomodasi mitra koalisi dan tim sukses yang kuat sekali dalam proses rekrutmen calon menteri," ujarnya.
Ia mencontohkan, sejumlah nama yang masuk adalah para elite partai seperti Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali, Presiden PKS Tifatul Sembiring, dan Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar.(*)
"Saya lihat, SBY seperti berhasil menghipnotis masyarakat dengan `pertunjukan politik` yang luar biasa. Meski pada akhirnya SBY tetap menyimpan misteri tentang siapa calon menterinya dan akan duduk di `pos` mana," kata pengamat politik dari Universitas Paramadina Jakarta, Burhanuddin Muhtadi yang dihubungi di Jakarta, Senin.
Burhanuddin Muhtadi yang juga peneliti senior Lingkaran Survei Indonesia (LSI) itu mengatakan, SBY cukup berhasil "melibatkan" publik dalam proses mencari calon menteri, karena setidaknya masyarakat menjadi tahu siapa-siapa saja nama calonnya karena prosesnya terbuka.
Namun, katanya, jika dilihat dari sisi negatifnya, sebenarnya apa yang dilakukan SBY itu hanya membuka "kulit-kulitnya" saja, sementara isi pembicaraan sebenarnya menyangkut posisi menteri dengan para calon, tidak diketahui publik.
Dikatakannya, seperti pada 2004 lalu, kali ini SBY pun melakukan rekrutmen calon menteri dengan metode yang kurang lebih sama, namun ditambah dengan persyaratan "medical chek up" dan penandatanganan kontrak kerja serta pakta integritas.
Padahal, lanjutnya, dalam sistem pemerintahan presidensial murni, pemilihan menteri menjadi hak prerogatif presiden dan biasanya dilakukan secara tertutup, termasuk ketika masa Presiden Megawati, Gus Dur, Habibie, maupun Soeharto, tidak ada proses pelibatkan publik seperti yang dilakukan SBY.
"Setidaknya ada kesengajaan yang dilakukan SBY untuk membuka proses itu, meski hanya `kulit`-nya saja. Tetapi yang menarik, apakah metode yang kompleks seperti yang dilakukan SBY itu mampu memberi jaminan atas kualitas para calon menterinya?," katanya.
Menurut Burhanuddin, pada 2004 hal itu tidak menjamin, karena pada periode pertama Kabinet Indonesia Bersatu, kualitas para menterinya tidak istimewa sehingga sampai dua kali dirombak, pada 2005 dan 2007.
Jika melihat figur-figur calon menteri yang telah dipanggil, Burhanuddin menilai, SBY lebih banyak mempertimbangkan faktor stabilitas pemerintahan lima tahun mendatang, ketimbang soal kompetensi dan keahlian calon menterinya.
"Saya melihat ada nuansa akomodasi mitra koalisi dan tim sukses yang kuat sekali dalam proses rekrutmen calon menteri," ujarnya.
Ia mencontohkan, sejumlah nama yang masuk adalah para elite partai seperti Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali, Presiden PKS Tifatul Sembiring, dan Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar.(*)
Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009
Tags: