Imam Prasodjo: Protokol kesehatan perlu disusun spesifik
30 Juni 2020 16:19 WIB
Sosiolog Imam Prasodjo dalam tangkapan layar akun Youtube BNPB Indonesia saat menayangkan bincang-bincang Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang diikuti di Jakarta, Selasa (30/6/2020). (ANTARA/Dewanto Samodro)
Jakarta (ANTARA) - Sosiolog Imam Prasodjo mengatakan protokol kesehatan pada pelaksanaan normal baru harus disusun secara spesifik dengan keunikan berbeda antara tempat satu dengan tempat lainnya.
"Kerumunan di pasar berbeda dengan kerumunan di masjid atau di pesta pernikahan. Tidak bisa pakai protokol 'sapu jagad'," kata Imam dalam bincang-bincang Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang ditayangkan akun Youtube BNPB Indonesia yang diikuti di Jakarta, Selasa.
Imam mengatakan setelah protokol kesehatan disusun, yang harus dilakukan berikutnya adalah melakukan sosialisasi. Sosialisasi antara kelompok masyarakat satu dengan yang lainnya bisa sangat berbeda.
Menurut Imam, agar sosialisasi protokol kesehatan berjalan efektif, diperlukan juru bicara yang dianggap sebagai acuan di masing-masing tempat. Juru bicara itu bisa saja lebih dari satu orang.
"Para champion yang perlu menyosialisasikan harus dibentuk. Tidak bisa hanya mengandalkan aparat saja. Mungkin di pasar ada pedagang yang dianggap berwibawa bisa menjadi champion," tuturnya.
Imam mengatakan adaptasi kebiasaan baru harus dilakukan masyarakat karena mereka memiliki rasa tanggung jawab, bukan karena takut kepada aparat atau tidak enak dengan anggota masyarakat lainnya.
Baca juga: Dewan Masjid bantu sosialisasi penerapan protokol kesehatan di masjid
Bila sosialisasi adaptasi kebiasaan baru dibangun karena rasa takut kepada aparat, maka setelah aparat tersebut pergi masyarakat akan kembali meninggalkan protokol kesehatan.
Baca juga: Legislator: Sosialisasi protokol kesehatan pariwisata harus gencar
"Perjalanan lingkup sosialisasi dan mengubah perilaku masyarakat agak panjang. Perlu diatur tahapannya dengan baik," katanya.
Selain itu, protokol kesehatan juga perlu dibangun untuk menjadi sistem yang berlaku sehingga masyarakat secara sadar melaksanakannya.
Baca juga: Presiden Jokowi minta para menteri buat terobosan atasi COVID-19
"Misalnya, bila kepala daerah menetapkan ASN harus memakai masker ke kantor, kalau tidak pakai harus pulang. Tidak perlu ada imbauan-imbauan, pasti akan dilakukan," ujarnya.
Karena itu, kata dia, protokol kesehatan harus menjadi sistem yang berlaku di tempat-tempat yang menjadi lokasi kerumunan. Di pasar, misalnya, harus dibangun sistem pengunjung mencuci tangan sebelum masuk ke dalam pasar.
"Kerumunan di pasar berbeda dengan kerumunan di masjid atau di pesta pernikahan. Tidak bisa pakai protokol 'sapu jagad'," kata Imam dalam bincang-bincang Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang ditayangkan akun Youtube BNPB Indonesia yang diikuti di Jakarta, Selasa.
Imam mengatakan setelah protokol kesehatan disusun, yang harus dilakukan berikutnya adalah melakukan sosialisasi. Sosialisasi antara kelompok masyarakat satu dengan yang lainnya bisa sangat berbeda.
Menurut Imam, agar sosialisasi protokol kesehatan berjalan efektif, diperlukan juru bicara yang dianggap sebagai acuan di masing-masing tempat. Juru bicara itu bisa saja lebih dari satu orang.
"Para champion yang perlu menyosialisasikan harus dibentuk. Tidak bisa hanya mengandalkan aparat saja. Mungkin di pasar ada pedagang yang dianggap berwibawa bisa menjadi champion," tuturnya.
Imam mengatakan adaptasi kebiasaan baru harus dilakukan masyarakat karena mereka memiliki rasa tanggung jawab, bukan karena takut kepada aparat atau tidak enak dengan anggota masyarakat lainnya.
Baca juga: Dewan Masjid bantu sosialisasi penerapan protokol kesehatan di masjid
Bila sosialisasi adaptasi kebiasaan baru dibangun karena rasa takut kepada aparat, maka setelah aparat tersebut pergi masyarakat akan kembali meninggalkan protokol kesehatan.
Baca juga: Legislator: Sosialisasi protokol kesehatan pariwisata harus gencar
"Perjalanan lingkup sosialisasi dan mengubah perilaku masyarakat agak panjang. Perlu diatur tahapannya dengan baik," katanya.
Selain itu, protokol kesehatan juga perlu dibangun untuk menjadi sistem yang berlaku sehingga masyarakat secara sadar melaksanakannya.
Baca juga: Presiden Jokowi minta para menteri buat terobosan atasi COVID-19
"Misalnya, bila kepala daerah menetapkan ASN harus memakai masker ke kantor, kalau tidak pakai harus pulang. Tidak perlu ada imbauan-imbauan, pasti akan dilakukan," ujarnya.
Karena itu, kata dia, protokol kesehatan harus menjadi sistem yang berlaku di tempat-tempat yang menjadi lokasi kerumunan. Di pasar, misalnya, harus dibangun sistem pengunjung mencuci tangan sebelum masuk ke dalam pasar.
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020
Tags: