Palu (ANTARA) - Dewi Listiawati (38), siang itu sibuk melayani anak-anak yang memesan jajanan minuman dingin di lapak kotak aluminium miliknya.

Lapak yang dibalut kaca itu baru saja ia beli lengkap dengan seperangkat alat produksinya untuk menghasilkan minuman bersoda dingin.

Lapak kecil tidak lebih dari 1 x 1 meter itu ia tempatkan di depan rumahnya, kompleks baru Hunian Tetap Balaroa untuk korban bencana gempa, tsunami dan likuefaksi yang menerjang Kota Palu, Sigi, dan Donggala pada 28 September 2018.

"Tempat jualan ini saya beli sendiri, baru beberapa hari lalu," katanya.

Itulah satu-satunya bisnis kecil yang diharapkan Dewi mendapatkan rupiah setelah gempa menerjang Kota Palu.

Ia berusaha mengumpulkan rupiah dari minuman dingin yang pangsa pasarnya hanya berharap dari penghuni hunian tetap dan pengungsi lainnya yang masih bertahan di hunian sementara di dekat Balaroa itu.

"Rumah saya dulu di atas Perumnas Balaroa (kawasan likuefaksi). Semuanya hancur," katanya.

Menjelang setahun pascabencana, Dewi kembali dirundung sedih, karena ia terpaksa bercerai dengan suaminya. Ia akhirnya hanya berdua dengan putrinya yang masih balita menempati hunian tipe 36 di hunian tetap saat ini.

Dewi baru delapan hari menempati hunian tetap itu, setelah hampir dua tahun bertahan di tenda pengungsian yang tidak jauh dari Balaroa.

"Saya sudah delapan malam di sini. Saya yang pertama tinggal di sini," kata Dewi yang menempati Blok F1 No. 1.

Rumah yang ia pilih tepat berada di sudut jalan, menghadap selatan. Pintu-pintu di jejeran hunian tetap di Puncak Balaroa ini hanya dua arah, selatan dan utara.

Lokasi pembangunan 127 hunian tetap ini berbukit, sehingga banyak tanjakan. Tetapi jalannya sudah diaspal selebar delapan meter. Tidak ada lagi antarblok yang tidak terhubung dengan aspal.

Blok satu dengan blok lainnya hanya dibatasi talut. Tinggi talut-talut pembatas antarblok itu tidak ada yang kurang dari satu meter. Pembangunan talut ini menelan anggaran ratusan juta guna menghindari longsoran material.

Di sebelah barat dari hunian ini, pemandangan bebas hambatan sehingga dapat melihat wajah Kota Palu dari ketinggian.

Tidak lebih dari 500 meter dari hunian ini, terhampar kawasan likuefaksi eks Perumnas Balaroa yang menelan banyak korban jiwa dan harta benda saat gempa mengguncang Kota Palu dan sekitarnya.

"Saya dapat rumah ini melalui cabut lot. Saya juga tidak menyangka kalau dapat rumah di lokasi ini, di sudut," kata Dewi sambil melemparkan senyumnya.

Di blok itu, baru Dewi dan dua tetangganya yang menempati rumah hunian tipe 36 itu. Ia merasa nyaman di hunian tetap itu dibanding saat dia bersama anaknya masih tinggal di tenda darurat.

Dewi sebelumnya hanya tinggal bersama balita perempuannya di tenda darurat, hanya sekitar 70 meter dari rumah yang ia tempati sekarang.

Walaupun belum ada penyerahan resmi dari pemerintah kepada para penyintas, namun Dewi merasa sudah nyaman karena tidak lagi tidur di atas tanah di bawah tenda.

"Kalau malam di sini ramai karena masih banyak pengungsi yang menempati tenda di sekitar sini, mereka datang berfoto melihat suasana Kota Palu dari ketinggian," katanya.

Di rumah yang terbuat dari konstruksi risha (rumah instan sederhana sehat) itu, Dewi dan dua tetangganya sudah menikmati listrik, jalan lingkungan yang lebar, dan didukung dengan penerangan jalan.

"Air belum masuk karena baknya sementara dibangun, sementara kami beli air," katanya.

Di blok sebelah, sebagian calon penghuni hunian tetap sudah mulai membersihkan lantai rumahnya. Mereka berencana segera pindah jika fasilitas listrik dan airnya sudah terpasang.

"Nanti kalau ada rezeki baru diplester. Biar saja begini, dari pada tinggal di tenda," kata seorang calon penghuni.

Petugas dari PT. PLN (Persero) hampir setiap hari juga hilir mudik di kompleks itu karena menyambung listrik ke setiap rumah. Sebagian rumah sudah teraliri listrik dan setiap tiang listrik sudah terpasang lampu jalan.

Di sudut lainnya sejumlah tukang masih berjibaku membangun masjid dari besi baja. Masjid itu bagian dari fasilitas hunian tetap. Di lokasi ini sudah tersedia puskesmas pembantu meski baru terbuat dari baja ringan.

Hunian tetap Balaroa ditetapkan sebagai lokasi pembangunan hunian korban bencana oleh Pemerintah Kota Palu karena sebagian masyarakat tetap bertahan di daerah ketinggian itu. Mereka bersikap keras tidak mau meninggalkan tempat itu.

Sejak bertahun-tahun hidup damai dengan alam Balaroa, menjadikan warga tetap bertahan di sana. Padahal di tempat lain Pemerintah Kota Palu telah menyediakan lahan dan membangunkan rumah untuk korban bencana gempa, likuefaksi, dan tsunami.

Pemerintah Kota Palu akhirnya mengambil kebijakan menjadikan lokasi tersebut sebagai lokasi hunian tetap sebanyak 127 unit.

"Sekarang tahap finishing, listriknya juga sebagian baru tahap pemasangan," kata Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) Dinas Perumahan dan Permukiman Kota Palu Yana.

Dia mengatakan pemerintah belum menyerahkan secara resmi hunian tersebut kepada penyintas karena belum rampung, namun sebagian penyintas sudah ada yang bersedia menempati rumah tersebut.

"Tapi dengan catatan jangan mengeluh karena fasilitasnya masih terbatas, seperti fasilitas air bersih masih dalam pembangunan, sebagian listrik juga belum terpasang," katanya.

Dia mengatakan seluruh fasilitas pembangunan hunian tetap tersebut akan rampung akhir Juli 2020.

Pemerintah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) membangun rumah tersebut dengan anggaran Rp50 juta per unit dengan spesifikasi tipe 36 berkonstruksi risha, dinding batako tanpa plester, dibangun di atas lahan 15 x 10 meter.

"Kami tidak membangun dapur. Nanti itu dibangun sendiri oleh pemiliknya karena masih ada lahan untuk dapur," katanya.

Kawasan hunian tetap tersebut dibangun secara gotong rotong dengan dua sumber pembiayaan, yakni APBD Kota Palu dan APBN.

APBD Palu, antara lain membiayai pemetaan lahan, pembentukan badan jalan, talut, drainase dan sanitasi dengan anggaran Rp1,6 miliar. Sementara APBN melalui dana DAK membangun fisik rumahnya.

Hunian tetap Balaroa di Palu Barat, dan Hunian tetap Budha Zhu Chi di Kelurahan Tondo, kini menjadi kawasan hunian baru di kaki gunung. Hunian tetap itu sebagai penanda sekaligus sejarah dari kelamnya bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi yang melanda Kota Palu dan daerah sekitarnya pada 28 September 2020.