Pakar SDM: Pihak yang menolak transformasi belum tahu gambaran utuhnya
26 Juni 2020 23:33 WIB
Pakar manajemen sumber daya manusia (SDM) dan teknologi informasi Alex Denni dalam diskusi daring di Jakarta, Jumat (26/6/2020). ANTARA/Aji Cakti
Jakarta (ANTARA) - Pakar manajemen sumber daya manusia (SDM) dan teknologi informasi Alex Denni menilai penolakan terhadap agenda transformasi perusahaan dikarenakan pihak yang menolak belum mengetahui gambaran utuh dari agenda transformasi tersebut.
"Kenapa orang menolak atau reject terhadap suatu hal? Karena dia tidak mendapatkan gambaran yang utuh," ujar Alex Denni dalam diskusi daring di Jakarta, Jumat.
Menurut Alex, penolakan hanya terjadi kalau orang itu tidak bahwa agenda transformasi tersebut bermanfaat untuknya.
Namun ketika dia mengetahui bahwa transformasi ini bermanfaat bagi dirinya, maka hal tersebut akan didukung habis-habisan.
"Awal-awalnya transformasi memang akan menghadapi penolakan karena semua pihak belum mengetahui itu untuk siapa, namun ketika agenda transformasi ini bermanfaat bagi semua maka meraih dukungan dari berbagai pihak, bahkan dari mereka yang pernah menolak agenda transformasi tersebut," kata Alex Denni.
Baca juga: Pakar akui pandemi COVID-19 percepat perubahan global radikal
Sebelumnya pakar manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) Profesor Dave Ulrich dari University of Michigan Amerika Serikat berbagi kiat-kiat perusahaan di Indonesia dalam mengatasi resisten atau penolakan dari pekerja dan bahkan petinggi ketika korporasi hendak melakukan perubahan.
Dave menyebut ada tiga jenis penolakan atau resistensi dari para pekerja dan bahkan petinggi yang menolak perubahan di dalam perusahaan. Jenis resistensi pertama bersifat teknis di mana pekerja atau petinggi tidak memiliki keahlian yang sesuai atau baru untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut. Oleh karena itu, kata dia, korporasi harus memberikan mereka keahlian baru.
Jenis resistensi kedua yakni penolakan yang bersifat politis, di mana pekerja dan petinggi yang menolak perubahan meyakini bahwa pengaruh dan kontribusi mereka akan berkurang atau bahkan tidak dapat menyumbangkan lagi kontribusinya ketika perusahaan telah mengadopsi perubahan.
Lebih lanjut pakar dari AS tersebut mengatakan bahwa jenis resistensi ketiga lebih berkaitan dengan budaya atau kultur kerja. Dengan kata lain pola pandang serta perilaku pekerja dan petinggi perusahaan sebuah proses berpikir bahwa mereka tidak bisa menjalankannya.
Baca juga: Pakar dari AS bagi kiat atasi resistensi pekerja terhadap perubahan
Baca juga: FHCI diharapkan jadi inspirator era kekinian pengelolaan SDM
"Kenapa orang menolak atau reject terhadap suatu hal? Karena dia tidak mendapatkan gambaran yang utuh," ujar Alex Denni dalam diskusi daring di Jakarta, Jumat.
Menurut Alex, penolakan hanya terjadi kalau orang itu tidak bahwa agenda transformasi tersebut bermanfaat untuknya.
Namun ketika dia mengetahui bahwa transformasi ini bermanfaat bagi dirinya, maka hal tersebut akan didukung habis-habisan.
"Awal-awalnya transformasi memang akan menghadapi penolakan karena semua pihak belum mengetahui itu untuk siapa, namun ketika agenda transformasi ini bermanfaat bagi semua maka meraih dukungan dari berbagai pihak, bahkan dari mereka yang pernah menolak agenda transformasi tersebut," kata Alex Denni.
Baca juga: Pakar akui pandemi COVID-19 percepat perubahan global radikal
Sebelumnya pakar manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) Profesor Dave Ulrich dari University of Michigan Amerika Serikat berbagi kiat-kiat perusahaan di Indonesia dalam mengatasi resisten atau penolakan dari pekerja dan bahkan petinggi ketika korporasi hendak melakukan perubahan.
Dave menyebut ada tiga jenis penolakan atau resistensi dari para pekerja dan bahkan petinggi yang menolak perubahan di dalam perusahaan. Jenis resistensi pertama bersifat teknis di mana pekerja atau petinggi tidak memiliki keahlian yang sesuai atau baru untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut. Oleh karena itu, kata dia, korporasi harus memberikan mereka keahlian baru.
Jenis resistensi kedua yakni penolakan yang bersifat politis, di mana pekerja dan petinggi yang menolak perubahan meyakini bahwa pengaruh dan kontribusi mereka akan berkurang atau bahkan tidak dapat menyumbangkan lagi kontribusinya ketika perusahaan telah mengadopsi perubahan.
Lebih lanjut pakar dari AS tersebut mengatakan bahwa jenis resistensi ketiga lebih berkaitan dengan budaya atau kultur kerja. Dengan kata lain pola pandang serta perilaku pekerja dan petinggi perusahaan sebuah proses berpikir bahwa mereka tidak bisa menjalankannya.
Baca juga: Pakar dari AS bagi kiat atasi resistensi pekerja terhadap perubahan
Baca juga: FHCI diharapkan jadi inspirator era kekinian pengelolaan SDM
Pewarta: Aji Cakti
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2020
Tags: