Jakarta (ANTARA News) - PT Pertamina (Persero) secara rutin telah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) termasuk dalam biaya pendistribusian elpiji yang selama ini dinilai wajar, kata Juru bicara Pertamina Basuki Trikora Putra di Jakarta, Senin.

"Kami secara keseluruhan telah diaudit BPK, termasuk dalam hal subsidi dan biaya distribusi elpiji," katanya.

Sekretaris Perusahaan Pertamina Toharso dalam suatu diskusi mengatakan, komponen biaya distribusi elpiji atau biasa disebut "beta" jauh lebih mahal dibandingkan bahan bakar minyak (BBM) atau "alpha."

Menurut dia, kedua komoditas memiliki perbedaan penanganan mengingat elpiji berbentuk gas yang menjadikan biaya distribusinya lebih mahal dibandingkan BBM berbentuk cair.

Ia mengatakan, komponen beta terdiri dari ongkos angkut kapal dari titik pembelian yang berasal dari impor atau dalam negeri, biaya penyimpanan, ongkos distribusi hingga ke agen, penyusutan, pajak pertambahan nilai (PPN), dan marjin.

"Kami persilakan jika ada pihak yang ingin menghitung lagi sebagai pembanding," katanya.

Toharso menambahkan, saat ini, sumber elpiji Pertamina berasal dari 30 persen impor dan 70 persen dari dalam negeri yang terbagi lagi menjadi Pertamina sendiri dan produsen lain.

Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Husna Zahir dalam diskusi yang sama, meminta Pertamina menyampaikan secara transparan perhitungan biaya produksi dan distribusi elpiji ke masyarakat.

"Ahli-ahli keuangan perlu juga menghitung lagi, apakah biaya yang disampaikan Pertamina sudah wajar atau tidak. Jadi, hitung-hitungannya tidak hanya berasal dari Pertamina," katanya.

Pertamina per 10 Oktober 2009 menaikkan harga elpiji tabung 12 kg sebesar Rp100 per kg atau Rp1.200 per tabung dengan alasan rugi.

Dengan kenaikan tersebut maka harga elpiji 12 kg di tingkat agen naik dari Rp5.750 menjadi Rp5.850 per kg atau Rp69.000 menjadi Rp70.200 per tabung.

Harga Rp69.000 tersebut baru di tingkat agen setelah mencapai konsumen harga elpiji 12 kg menjadi antara Rp75.000-Rp78.000 per tabung, karena masih ditambah ongkos angkut dan marjin pengecer.

Kenaikan sebesar Rp100 per kg atau Rp1.200 per tabung 12 kg tersebut direncanakan Pertamina dilakukan setiap bulan hingga mencapai keekonomiannya.

Pertamina mengaku rugi hingga Rp2,3 triliun dalam bisnis penyediaan elpiji kemasan 12 kg pada tahun 2009 jika tidak dilakukan kenaikan.

Kerugian tersebut terjadi karena ada selisih harga elpiji internasional sesuai patokan "contract price" (CP) Aramco yang dipakai Pertamina membeli elpiji baik impor maupun dalam negeri, dengan harga jual ke konsumen.

Harga elpiji CP Aramco rata-rata selama Januari-Oktober 2009 mencapai 479 dolar AS per metrik ton.

Sesuai patokan harga CP Aramco tersebut, maka harga elpiji sampai ke agen, seharusnya mencapai Rp8.343 per kg, namun Pertamina menjual elpiji 12 kg sampai di tingkat agen hanya Rp5.750 per kg atau ada selisih sekitar Rp2.500 per kg yang ditutup BUMN tersebut. (*)