Jakarta (ANTARA) - Kemitraan Indonesia dengan Australia dalam kerangka Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (Comprehensive Economic Partnership Agreement/CEPA) diharapkan mampu menciptakan stabilitas dan keberlanjutan dagang, terutama pada industri daging dan ternak.

Country Manager of Meat and Livestock Australia untuk Indonesia Valeska menjelaskan dengan diimplementasikannya Kemitraan IA-CEPA pada 5 Juli mendatang, tentunya bakal memberi keuntungan pada stabilitas perdagangan pada kedua belah pihak, seperti pengurangan tarif dan peningkatan importasi.

"Kemitraan ini juga memungkinkan adanya pasokan dan akses terhadap bahan baku yang lebih konsisten, sehat dan bernutrisi dengan sumber protein hewani, jika kita berbicara dalam konteks ketahanan pangan," kata Valeska dalam webinar yang diselenggarakan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) di Jakarta, Selasa.
Baca juga: Kemitraan RI-Australia diharap dongkrak ketahanan pangan Indonesia

Valeska menjelaskan bahwa manfaat kemitraan IA-CEPA bagi kedua negara, terutama Indonesia, yakni peningkatan kompetensi pada sumber daya manusia dengan adanya transfer pengetahuan dari pakar industri daging dan ternak.

Kemudian, kerangka kerja sama tersebut diharapkan mampu meningkatkan kinerja perekonomian Indonesia lewat penguatan keberadaan Indonesia di dalam Global Value Chain (GVC) atau rantai pasok global.

Dengan adanya stabilitas dan keberlanjutan perdagangan, didukung dengan peningkatan kompetensi SDM, tentu akan memungkinkan adanya investasi yang lebih banyak terkait standar yang memenuhi persyaratan internasional.
Baca juga: BKPM: IA-CEPA diharapkan dorong Investasi Indonesia-Australia

Menurut Valeska, industri sektor daging dan ternak telah memberikan efek berganda terhadap kehidupan sosial ekonomi Indonesia, mulai dari ketenagakerjaan, ketahanan pangan, hingga standar biosekuriti yang dapat diterapkan.

Senada dengan itu, Peneliti CIPS Pingkan Audrine Kosijungan menilai Australia merupakan mitra dagang strategis Indonesia terutama dalam sektor peternakan sapi. Menurut Pingkan, peternak sapi di dalam negeri masih belum menggunakan cara berternak yang efisien.

Selain itu, ketersediaan modal yang memadai untuk memelihara sapi juga mendorong sebagian besar peternak fokus pada pembiakan sapi potong. Hal inilah yang menjadikan ketersediaan sapi bakalan lokal menjadi minim.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan bahwa Australia merupakan pemasok impor daging sapi terbesar bagi Indonesia dengan nilai impor mencapai 85.000 ton atau sekitar 53 persen dari total impor seberat 160.197 ton.

Ada pun nilai impor daging sapi dari Australia mencapai 296,3 juta dolar AS atau setara Rp4 triliun dari total nilai impor Rp7,7 triliun. Tidak hanya impor daging sapi, Indonesia juga mengimpor gandum, hewan hidup jenis lembu serta gula mentah atau tebu.

Baca juga: Kemitraan Ekonomi Indonesia-Australia dan resep keterbukaan ekonomi
Baca juga: Perjanjian ekonomi Indonesia-Australia CEPA berlaku 5 Juli 2020