Jakarta (ANTARA News) - Hajatan besar pelantikan wakil rakyat hasil pemilu 2009 telah usai. Alokasi dana negara tidak kurang dari Rp11 miliar juga telah terkuras untuk menggelar acara itu.
Jika ditambah lagi dengan biaya besar yang telah dibelanjakan serta terkurasnya energi masing-masing anggota parlemen baru itu dalam proses panjang pemilu legislatif, maka pertanyaan yang muncul adalah kontribusi apa yang sebanding dari parlemen Indonesia untuk membayar lunas harga berdemokrasi yang mahal itu?

Apabila bercermin dari prestasi yang ditorehkan kelembagaan DPR pada periode sebelumnya (2004-2009), rakyat Indonesia tampaknya hanya bisa berharap-harap cemas pada wakil-wakil mereka itu agar bisa lebih baik dari kolega mereka sebelumnya.

Penilaian Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) atas kinerja DPR RI periode 2004-2009, mungkin bisa dianggap sebagai satu perspektif yang relatif mewakili.

LSM pemantau parlemen itu menilai kinerja DPR RI periode 2004-2009 sangat mengecewakan dan citranya pun sudah terpuruk di mata masyarakat.

"Penilaian ini tidak bersifat persepsional, melainkan analitis berdasarkan fakta dan data empiris," ujar Sebastian Salang, koordinator Formappi.

Penilaian yang dilakukan Formappi itu, menurut dia, semata-mata untuk menyatakan tanggung-gugat kepada DPR periode 2004-2009 sekaligus memberikan dorongan bagi kinerja yang lebih baik untuk DPR periode berikutnya.

Berdasarkan penilaiannya selama ini, LSM itu menyimpulkan bahwa DPR lebih banyak menentukan proses tetapi mengabaikan substansi legislasi. Target prioritas telah ditetapkan, tetapi mayoritas yang dihasilkan di luar prioritas.

Sebagai contoh target penyelesaian UU yang ada dalam program legislasi nasional (prolegnas) berjumlah 284 UU. Tetapi DPR periode lalu hanya berhasil menyelesaikan sebanyak 70 UU (24,6 persen) dan UU yang di luar prolegnas sebanyak 116.

Memang secara teknis kuantitatif, DPR dinilai menghasilkan cukup banyak UU, yakni 186 UU. Tetapi secara substantif sebetulnya hanya 95 UU yang dihasilkan. Artinya prestasi legislasi parlemen sangat rendah karena yang dihasilkan itu adalah 57 UU Pemekaran Wilayah, 15 UU ratifikasi konvensi internasional, 6 UU pengesahan Perppu dan 4 UU pengadilan tinggi agama.

"DPR belum mengutamakan pembahasan RUU yang langsung bersentuhan dengan kesejahteraan rakyat dan kemampuan DPR menyelesaikan legislasi sangat rendah," kata Salang.

Dengan demikian DPR periode 2004-2009 dinilai mewarisi utang legislasi yang sangat besar pada DPR periode 2009-2014.

Selain utang legislasi, DPR baru yang terdiri dari sembilan fraksi, yakni Fraksi F-PD, F-PG, F-PDIP, F-PPP, F-PAN, F-PKB, F-PKS, F-Gerindra dan F-Hanura mulai disibukkan dengan "penyakit" lama parlemen, yakni bagaimana membagi-bagi jatah pimpinan dalam alat kelengkapan Dewan.

Berdasarkan usulan yang disusun satu tim anggota DPR periode sebelumnya, DPR RI periode 2009-2014 direkomendasikan memiliki 15 komisi (jumlah komisi DPR periode sebelumnya 11 buah) dan enam alat kelengkapan yang berbentuk badan. Dengan demikian di DPR saat ini akan terdapat 23 alat kelengkapan tetap ditambah satu alat kelengkapan tidak tetap, yaitu Panitia Khusus.

Memang untuk jumlah akhir komisi DPR saat ini masih ditunda pengesahannya seraya menunggu bagaimana hasil akhir Munas Partai Golkar yang saat ini tengah digelar di Riau.

Namun apabila rekomendasi tim itu disahkan paripurna DPR, maka gambaran yang akan terjadi adalah sidang-sidang di DPR masih akan banyak yang kosong karena anggota DPR banyak yang merangkap jabatan dengan alat kelengkapan lainnya.

Dari sembilan fraksi DPR yang disahkan, terdapat fraksi yang hanya memiliki 17 anggota. Fraksi yang jumlah anggotanya sedikit, tentu akan sulit untuk mewarnai dinamika di parlemen karena perwakilan mereka di alat kelengkapan juga sedikit.

Di saat yang sama, dominasi fraksi-fraksi yang mampu membagi anggotanya ke alat kelengkapan dalam jumlah banyak akan tinggi. Selain itu, banyaknya alat kelengkapan juga menyulitkan bagi sekretariat jenderal untuk menyusun jadwal.

Apabila berbagai panitia khusus juga sudah mulai dibentuk dan berjalan, maka kondisi para anggota DPR akan semakin parah karena pengalaman menunjukkan bahwa jumlah pansus dalam setahun bisa melebihi jumlah komisi.

Menurut Koordinator Divisi Riset Indonesian Parliamentary Center (IPC), Ahmad Hanafi, jika DPR tidak segera mengeritisi persoalan-persoalan seperti itu, maka kinerja DPR periode 2009-2014 lagi-lagi hanya akan mengalami hal yang sama dengan periode sebelumnya.

Pembentukan komisi-komisi di DPR sejatinya harus dilaksanakan dengan pertimbangan efektifitas kinerja dan kemerataan anggota fraksi.

"Semakin sedikit komisi, akan semakin fokus dan efektif kinerja anggotanya, serta semakin merata pula pembagian anggota fraksi untuk setiap komisi," ujarnya.

Selain semua itu, DPR juga masih mempunyai pekerjaan rumah (PR) yang tidak ringan berupa adanya stigma bahwa DPR telah menjadi ajang pemenuhan kepentingan kekuasaan yang menegasikan kepentingan rakyat pada umumnya.

Ada masyarakat yang berpandangan bahwa kalangan DPR dinilai terhormat dalam jabatan, tetapi buruk dalam prilaku, malas, terlibat suap dan korupsi.

Anggota DPR masih belum mampu membebaskan diri dari konflik kepentingan dan patuh pada kode etik DPR. Dalam berbagai kasus korupsi dan pelanggaran etika, partai justru memperlihatkan sikap yang melindungi.

DPR juga seringkali tidak memiliki data-data yang memadai untuk berargumentasi saat berhadapan dengan pemerintah.

Miskinnya sumber daya dan tenaga ahli yang mampu mendukung kerja dan kinerja wakil rakyat masih menjadi persoalan tersendiri yang harus dibenahi secara berkelanjutan.

Semua persoalan itu menjadi PR sekaligus tantangan yang harus segera dijawab para wakil rakyat yang kini telah resmi berkantor di Senayan.
(*)