Jakarta (ANTARA News) - Anggota dewan kehormatan pusat Persatuan Advokat Indonesia (Peradi), Luhut M.P Pangaribuan, mengatakan bahwa salah satu solusi untuk mengurangi praktik mafia peradilan adalah dengan mengubah konsep dan kewenangan penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA).

"Konsep di MA harus diubah karena itu menjadi sumber penyakit," kata Luhut usai seminar tentang "Program Pembangunan Hukum Nasional 2009" di Jakarta, Rabu.

Luhut menuturkan perubahan konsep dan kewenangan MA dengan cara lembaga pengadilan tertinggi di Indonesia tersebut, hanya mengeluarkan "yurisprudensi" yang menjadi pekerjaan prioritas, serta tidak perlu menangani perkara kecil karena bisa ditangani pengadilan tinggi atau pengadilan negeri.

Yurisprudensi yaitu putusan majelis hakim agung yang telah memiliki kekuatan hukum tetap berisi kaidah hukum yang diberlakukan saat memeriksa dan memutuskan perkara dalam lingkup peradilan pidana.

Apabila MA masih menangani perkara kecil, Luhut menegaskan siapapun yang duduk di lembaga hukum tersebut, maka tetap tidak akan ada perkembangannya.

Pengacara senior tersebut juga, menuturkan kenyataannya selama ini hakim agung di MA masih menangani perkara kecil sehingga terjadi permainan kasus oleh mafia peradilan.

Terkait Komisi Yudisial (KY) yang menyeleksi calon hakim agung, Luhut mengomentari tim komisioner yudisial tentunya sudah mengetahui kriteria sumber daya manusia yang tepat untuk mengikuti tes kepatutan dan kelayakan sebagai hakim agung.

"KY tentunya sudah punya kemampuan untuk menentukan kriteria yang tepat untuk menjadi calon hakim agung," ungkap Luhut.

Sejak 28 September hingga 5 Oktober 2009, KY sedang menyeleksi tes wawancara yang merupakan tahapan akhir bagi calon hakim agung untuk mengisi kekosongan enam kursi hakim agung di Mahkamah Agung.

KY menyeleksi sebanyak 35 calon, namun 18 calon yang lulus seleksi akan diajukan kepada Komisi III DPR RI untuk menjalani tes kelayakan dan kepatutan.
(*)