Jakarta (ANTARA) - Alih fungsi kawasan hutan menjadi ancaman terbesar yang memicu kepunahan satwa liar dilindungi harimau sumatera atau Panthera tigris sumatrae.

Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V Bahorok Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser Palbert Turnip dalam diskusi Semangat Senin, Harimau Sumatera bersama musisi Oppie Andaresta secara live di Instagram Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diakses dari Jakarta, Senin, mengatakan harimau bali dan harimau jawa sudah terlebih dulu punah.

Sedangkan saat ini, menurutnya, harimau sumatera hanya tersisa sekitar 600 individu di Pulau Sumatera.

Hilangnya hutan, menurut dia, mengurangi jarak harimau sumatera yang otomatis mengganggu sistem ekologis mereka untuk ketersediaan pakan dan tempat hidup. Karenanya, deforestasi menjadi musuh utamanya.
Baca juga: Aktivis harimau: pemburu semakin leluasa manfaatkan wabah COVID-19



Konflik dengan manusia

Palbert mengatakan persoalan lain terkait harimau sumatera adalah konflik dengan manusia.

Definisi konflik itu, ia mengatakan ketika ada interaksi antara satwa liar, dalam hal ini antara harimau sumatera dengan manusia maupun ternak milik warga yang efeknya negatif terhadap manusia, padahal ada haknya satwa liar dan ekosistemnya pula.

"Jadi khusus untuk yang baru ditangkap dan dirilis yang ada di Aceh, harimau itu sudah masuk di arealnya warga. Karena sudah mengganggu ada inisiatif buat menangkap dan lalu dapat dilepaskan lagi ke Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)," ujar dia lagi.

Jika berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 48 Tahun 2008 ada empat level konflik, antara lain, pertama, kondisi harimau hanya masuk areal warga tapi tidak mengganggu satwa milik warga. Kedua, harimau sumatera sudah mengganggu manusia dan mengganggu ternak.

Ketiga, sudah melukai manusianya. Keempat, manusia yang aktif melakukan penangkapan dan pembunuhan harimau.
Baca juga: KLHK berupaya lindungi harimau sumatera di Angkola Selatan