Jakarta (ANTARA) - Pakar manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) Profesor Dave Ulrich dari University of Michigan Amerika Serikat berbagi kiat-kiat perusahaan di Indonesia dalam mengatasi resisten atau penolakan dari pekerja dan bahkan petinggi ketika korporasi hendak melakukan perubahan.

"Seringkali kita menghadapi atau melihat tiga jenis penolakan atau resistensi dari para pekerja dan bahkan petinggi yang menolak perubahan di dalam perusahaan," ujar Dave Ulrich dalam seminar daring yang digelar Forum Human Capital Indonesia (FHCI) di Jakarta, Senin.

Menurut dia, Jenis resistensi pertama bersifat teknis di mana pekerja atau petinggi tidak memiliki skill yang sesuai atau baru untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut. Oleh karena itu, kata dia, korporasi harus memberikan mereka skill baru.

"Caranya bisa melalui skill-building memberikan pelatihan, program-program pengembangan diri, dan sebagainya, agar pekerja dan petinggi tersebut dapat memiliki skill baru untuk bisa beradaptasi dengan perubahan yang terjadi," katanya.

Jenis resistensi kedua yakni penolakan yang bersifat politis, di mana pekerja dan petinggi yang menolak perubahan meyakini bahwa pengaruh dan kontribusi mereka akan berkurang atau bahkan tidak dapat menyumbangkan lagi kontribusinya ketika perusahaan telah mengadopsi perubahan.

Baca juga: Bappenas: Daya beli masyarakat hilang Rp362 triliun akibat COVID-19

Baca juga: Bappenas: Daya beli pekerja manufaktur berpotensi hilang Rp40 triliun


"Untuk menghadapi resistensi seperti ini, maka korporasi perlu memberikan kesempatan dan akses kepada mereka untuk bisa berpengaruh, berkontribusi, dan terlibat agar dapat membuat perbedaan atau setidaknya ikut menentukan perubahan dalam perusahaan tersebut," ujar pakar manajemen SDM tersebut.

Lebih lanjut dia mengatakan bahwa jenis resistensi ketiga lebih berkaitan dengan budaya atau kultur kerja. Dengan kata lain pola pandang serta perilaku (mindset) pekerja dan petinggi perusahaan sebuah proses berpikir bahwa mereka tidak bisa menjalankannya.

"Maka dari itu untuk mengatasi resistensi tersebut, korporasi perlu menghadirkan dan mewujudkan keamanan serta kenyamanan secara psikologis dan mindset bahwa mereka bisa menerima dan menjalani perubahan tersebut di perusahaan," kata Dave Ulrich.

Dalam pandangan pakar SDM tersebut, perubahan perlu dilakukan untuk membuat kapabilitas organisasi perusahaan yang baru semakin lincah dan cepat bergerak untuk bertahan serta merebut peluang, terlebih lagi ketika menghadapi situasi krisis COVID-19 dan disrupsi teknologi secara bersamaan seperti saat ini.

Baca juga: Amazon gunakan teknologi AI peringatkan jarak fisik antara pekerja