Jakarta (ANTARA) - Sebuah data berisi rangkaian informasi mengenai bencana di Indonesia selama 2020 baru saja dipublikasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Data itu cukup mencengangkan karena jumlahnya begitu banyak. Bencana itu meliputi banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, gempa bumi serta angin ribut atau puting beliung.

Disebutkan sebanyak 1.483 bencana alam terjadi di seluruh wilayah Indonesia mulai 1 Januari hingga15 Juni 2020. Dilansir dari keterangan resmi BNPB di laman Twitter resminya, beberapa hari lalu, mayoritas bencana tersebut merupakan bencana hidrometeorologi atau bencana.

Bencana itu terjadi sebagai dampak dari fenomena meteorologi. Bencana banjir menjadi yang mendominasi, yakni sebanyak 584 kejadian, disusul puting beliung (415) dan longsor 317 kejadian.

Dari ribuan bencana yang tercatat itu telah menyebabkan 2,2 juta orang terkena dampak dan harus mengungsi. Sebanyak 195 jiwa meninggal dunia, 11 orang hilang dan 272 orang mengalami luka-luka.

Selain itu, menyebabkan 19.027 rumah rusak dengan skala ringan hingga berat dan sedikitnya 831 fasilitas umum juga terkena dampak. Kemudian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sebanyak 134 kejadian serta tiga kali terjadi bencana erupsi gunung api.

Kini cuaca mulai bergeser ke musim kemarau yang ditandai dengan berkurangnya curah hujan. Yang kemudian terjadi adalah cuaca terasa makin terasa panas.

Ada dua kejadian bencana alam yang sering melanda Indonesia, yakni karhutla dan kekeringan. Karhutla sering melanda kawasan hutan dan perkebunan milik perusahaan maupun lahan masyarakat.

Baca juga: BNPB catat 1.483 bencana alam terjadi dari Januari hingga 15 Juni

Sumbernya bisa alam yang dipicu cuaca panas. Tetapi publik juga punya ingatan bahwa karhutla dipicu perilaku orang yang diduga sengaja atau tidak sengaja menyebabkan kebakaran.

Sejumlah kasus kelalaian dan dugaan kesengajaan tindakan yang memicu karhutla telah divonis di pengadilan. Pelakunya perusahaan maupun oknum warga.
Warga membawa ember berisi air bersih yang didapatkan dari mobil tanki air di Cipayung, Jakarta Timur, Rabu (13/11/2019). Sejak awal September 2019 lalu, sejumlah wilayah di Cipayung, Jakarta Timur dilanda krisis air bersih dan hingga kini masyarakat terdampak masih mengandalkan bantuan pasokan air bersih yang disediakan Pemprov DKI Jakarta untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/ama.

Tidak Ekstrem?
Bagaimana dengan di musim kemarau tahun ini? Akankah karhutla dan kekeringan masih melanda seperti tahun-tahun sebelumnya?

Tidak ada pihak atau orang yang bisa memastikannya. Semua hanya memprediksi atau memperkirakan berdasarkan kondisi awal musim kemarau ini.

Yang patut dicermati adalah analisis dan prediksi dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Institusi ini memprediksi kemarau tahun ini tidak separah tahun lalu.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengemukakan pada Juni 2020 sebagian wilayah sudah masuk musim kemarau dengan perkiraan kemarau adalah pada Agustus 2020. Musim kemarau tahun ini diprediksi tidak seekstrem tahun 2019.

"Saat ini di sebagian wilayah Indonesia sudah memasuki musim kemarau," katanya usai panen bawang merah pada sekolah lapang iklim di Desa Legoksari, Kecamatan Tlogomulyo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.

Meskipun tidak seekstrem musim kemarau tahun 2019, tetapi ada sebagian wilayah terutama di daerah Pantura Jawa akan lebih kering dari kondisi normal.

Artinya, berdasarkan analisis BMKG, musim kemarau tahun ini diperkirakan tidak seekstrem tahun lalu. Kondisinya diperkirakan masih normal kecuali di beberapa wilayah di sepanjang Pantura Jawa.

Di sepanjang pantura itu kondisinya akan lebih kering dari normal meskipun tidak sekering tahun lalu. Lebih kering dari normal, artinya curah hujan dalam 10 hari kurang dari 50 milimeter, bahkan bisa sampai 0.

Karena itu, masyarakat di wilayah di bawah normal untuk lebih waspada karena bisa terjadi kekeringan. Kekeringan bisa memicu terjadinya kekurangan air dan kesulitan irigasi yang nantinya bisa berpengaruh pada tanaman pertanian.

Secara umum gambarannya adalah hujan berkurang tapi tidak kering. Artinya, kalau ada mata air tidak kering, masih muncul airnya.

Krisis Air
Jakarta sebagai Ibu Kota Negara juga (IKN) tak lepas dari bencana alam. Banjir masih menjadi momok setiap musim hujan dan kebakaran rumah atau tempat usaha hingga kini masih sering terjadi di kota besar berpenduduk 10 juta orang ini.

Dua persoalan kronis ini masih menjadi "pekerjaan rumah" (PR) yang belum selesai-selesai hingga usia yang ke-493 pada Senin, 22 Juni 2020 ini. Jakarta berdiri di dua sisi potensi bencana alam yang terkait air, yakni kebanjiran di musim hujan dan kekeringan/krisis air di musim kemarau.

Fakta menunjukkan bahwa musim hujan masih identik dengan bencana banjir di Jakarta. Bahkan kota metropolitan ini memiliki potensi banjir yang bersumber dari darat (kiriman dari Bogor), laut (rob dari pantai utara) dan udara (tingginya curah hujan).

Sebaliknya, jangan tidak percaya bahwa kekeringan kerap terjadi pula di musim kemarau. Kekeringan di DKI Jakarta ditandai dengan banyaknya sumur warga yang kering.

Sedangkan krisis air di kawasan-kawasan tertentu juga tak jarang terjadi akibat gangguan pasokan air bersih. Namun untuk masalah satu ini terjadi secara kasuistis dan situasional, misal, akibat pipa bocor.

Untuk kekeringan/kerawanan air, sebut saja BMKG pada September 2019 memasukkan 15 kecamatan di DKI Jakarta dalam kategori "awas" karena mengalami hari tanpa hujan lebih dari 61 hari. Ke-15 kecamatan tersebut adalah Cilincing, Tanjungpriok, Koja, Kelapa Gading dan Penjaringan (Jakarta Utara).

Selanjutnya Menteng, Gambir, Kemayoran dan Tanah Abang (Jakarta Pusat), Makasar, Pulogadung dan Cipayung (Jakarta Timur) dan Tebet, Pasar Minggu dan Setiabudi (Jakarta Selatan).

Tahun lalu dampak kekeringan terasa di beberapa permukiman warga yang mengandalkan pasokan air sumur. Sebanyak 25 dari total 96 rumah tinggal di RT 02 RW 03 Bambu Apus, Cipayung, Jakarta Timur, dilanda krisis air sejak awal September 2019.

Baca juga: Krisis air hantui warga Jakarta

Rata-rata warga yang kekurangan air bersih ini akibat kedalaman sumur di rumahnya cuma 12 sampai 15 meter. Selain itu, kontur lahan di kawasan setempat relatif lebih tinggi bila dibandingkan kawasan sekitarnya sehingga setiap kemarau selalu dilanda kekeringan.

Sedikitnya 50 kepala keluarga (KK) di RW 06 Kelurahan Munjul, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, mengalami kekeringan imbas kemarau panjang. Sejak pertengahan Oktober 2019 sumur di rumah warga banyak yang kering karena kedalamannya cuma berkisar tujuh sampai 10 meter.

Satgas Air
Warga yang sering terkena dampak kekeringan bermukim di RT 01, RT 02, RT 03/RW 06 Munjul. Entah mengapa mereka tidak memperdalam sumur untuk mengantisipasi kondisi saat musim kemarau.

Kekeringan di wilayah tersebut kerap terjadi setiap tahun dan populasi penduduk terus bertambah. Lebih 27 ribu jiwa di wilayah ini.

Dampak dari padatnya populasi adalah air dari sumur artesis semakin banyak yang membutuhkan. Masalahnya wilayah dataran ini relatif tinggi dibanding kawasan lain di Jakarta.

Persoalan ketersediaan pasokan air layak konsumsi tidak saja terjadi di sebagian kelurahan di Jakarta Timur itu, tetapi juga di sebagian permukiman di Jakarta Utara. Wilayah yang berada di bibir Teluk Jakarta ini bukan tidak adanya air di sumur warga, namun kualitas air sumur yang telah terintrusi air laut sehingga tidak layak konsumsi.

Untuk mengatasi krisis air akibat kekeringan di musim kemarau dan dampak intrusi air laut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun lalu membentuk Satgas Air Bersih. Sebanyak 1.162 personel ada di satgas ini.

Satgas Air Bersih memiliki tugas pokok memastikan warga Jakarta mendapatkan pasokan air bersih di tengah kondisi kekeringan dan kerawanan air bersih yang melanda terutama pada 15 kecamatan tersebut. Satgas bekerjasama dengan produsen air bersih termasuk PAM Jaya untuk memasok kebutuhan air bersih bagi warga terkena dampak.
Warga Bambu Apus memperlihatkan bakntamlunhan airntanah yang keruh akibat krisis air selama kemarau panjang 2019, Kamis (24/10/2019). (ANTARA/Andi Firdaus)

Kebutuhan warga dipasok dengan mobil-mobil tangki dalam waktu dua jam setelah adanya laporan dari RT/RW. Setiba di lokasi, warga menyiapkan ember dan jeriken untuk menampung air bersih sesuai kebutuhannya.

Baca juga: Pengamat sebut Jakarta belum optimal kelola sumber daya air

Kini di tengah pandemi virus corona (COVID-19) dengan cuaca yang memasuki musim kemarau, sudah saatnya dilakukan antisipasi kekeringan sumur-sumur warga dan kerawanan pasokan air bersih.

Simulasi-simulasi pasokan dan distribusi perlu dilakukan mengingat pembagian air biasanya diwarnai warga yang mengantre dalam barisan rapat, kini harus berjarak (physical distancing).

Intinya, bagaimanapun situasi dan kondisinya tetap memperhatikan protokol kesehatan untuk mencegah penularan virus corona.

Harapannya, perkiraan dan prediksi BMKG bahwa musim kemarau tahun ini tidak seekstrem tahun lalu terwujud. Dengan demikian deret hitung bencana alam pada data BNPB tidak bertambah secara ekstrem.