Padang ( ANTARA) - Mata Tewarnani (28) sembab pertanda baru saja selesai menangis, tatapannya nanar melihat atap rumah yang terkubur tanah usai longsor melanda.
Ia mencengkram kuat cangkul di tangannya, mencoba mengais sisa-sisa puing rumah yang tinggal atapnya saja. Yang lainnya terkubur di dalam tanah, benda-benda berharga, surat ijazah sekolah hingga seluruh keluarganya, ikut terkubur di dalam tanah, di bawah lahan yang ia pijak saat itu.
Tinggal dirinya yang hidup, seluruh keluarganya tewas tertimbun tanah longsor yang meluluhlantakkan desa Lubuk Laweh, Kecamatan Patemuan, Kabupaten Padang Pariaman.
Tewarnani menangis tiada henti, dirinya terus saja mencangkul, mencari yang belum tentu dapat dicari.
Ia berharap, cangkulan secara manual, tanpa menggunakan alat berat, dapat membantunya menemukan orang tua maupun saudara-saudaranya yang tertimbun tanah longsor.
"Setidaknya saya sudah berusaha, menunjukkan kalau saya anak berbakti, kalaupun tidak ketemu tidak apa-apa," katanya.
Matahari terik di siang itu tidak membuatnya lelah mencangkul, di antara bau tanah basah dan mayat.
Ia mengatakan, sebelum gempa melanda dan mengakibatkan longsor, desa Lubuk Laweh sangat indah dengan hamparan sawah hijau dan aliran air sungai yang dipenuhi bebatuan.
Kini daerah itu seperti lahan mati, kosong, berwarna coklat tanah basah, dan tidak ada tanda-tanda kehidupan di situ, hanya tanah luas berbukit-bukit dipenuhi batang pohon mati di atasnya.
Sisa-sisa atap rumah juga bisa ditemukan di sana, seperti memberi pesan bahwa pernah ada peradaban di situ. Kini peradaban itu hilang ditelan bumi, tidak menyisakan suatu apapun. Tiga desa, puluhan rumah dan ratusan warga menghilang, tertimbun tanah.
Tewarnani juga menambahkan dirinya tidak mempunyai firasat apapun saat kejadian, ia tengah berada di luar rumah untuk suatu urusan. meninggalkan sembilan orang keluarga yang terdiri dari orang tua, adik-adik, tante dan sepupu.
"Tidak ada firasat, hanya saja, beberapa hari sebelum gempa ibu sering mengatakan saya harus dewasa tidak boleh bergantung kepada orang tua," katanya.
Selain Twarnani, ada juga Simas (46) laki-laki yang kehilangan istri dan dua orang anaknya karena tertimbun longsor saat ia tengah pergi berjualan di pasar.
Lokasi Simas sekitar 500 meter dari Tewarnani, namun punya kesibukan yang sama, mencangkul, berharap menemukan anggota keluarganya yang hilang di bawah tanah. Di bawah kakinya berpijak, ada istri dan dua anaknya, entah seperti apa keadaannya.
Simas berkaca-kaca, ia tahu mencangkul berhari-hari pun belum tentu menemukan istri dan dua anaknya baik dalam keadaan hidup ataupun meninggal dunia.
Tapi ia ingin tetap berusaha, ingin istri dan anaknya tahu kalau ia ayah yang baik dan mencintai keluarganya, meski ia tidak bisa mengembalikan keadaan seperti semula.
Simas menghisap dalam-dalam rokok di tangannya, wajah tuanya yang kelelahan dipenuhi titik-titik peluh pertanda ia sudah bekerja keras sejak berjam-jam sebelumnya.
Kemeja kumalnya bertambah kotor oleh tanah-tanah basah dan liat yang dicangkulnya. Topi kusam di kepalanya yang robek-robek termakan usia juga tidak berhasil melindungi kepalanya dari terik matahari.
Simas mengatakan, ia berharap ada alat berat yang datang ke desanya dan melakukan evakuasi guna menemukan jenazah keluarganya karena ia ingin menguburkan secara layak.
Namun, alat berat belum tentu bisa masuk ke desanya, karena akses jalan yang sulit akibat terputus oleh longsor.
Untuk menempuh Desa Lubuk Laweh, kita harus berjalan kaki sekitar dua kilo lebih dari jalan raya dengan akses jalan setapak yang berbukit dan berbatu.
Karenanya, Simas pasrah, ia hanya bisa mengandalkan cangkul kayu yang mulai berkarat di genggamannya, berharap menemukan buah hatinya meskipun sudah tidak bernyawa lagi.
Gempa berkekuatan 7,6 skala richter yang melanda Sumatera Barat telah membuat bukit tinggi di wilayah Lubuk Laweh longsor dan mengubur puluhan rumah tempat berlindung ratusan warga di bawahnya.
Ada tiga desa yang tertimbun longsor di Kecamatan Patemuan, Kabupaten Padang Pariaman yakni Gunung Tigo, Lubuh Laweh dan Cumanak.
Berdasarkan data sementara yang diterima Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman jumlah warga yang masih hilang dan diperkirakan tertimbun tanah longsor di Desa Lubuk Laweh, lokasi rumah Tewarnani berada adalah 130 orang lebih.
Jumlah tersebut bisa menjadi tiga kali lipat banyaknya jika melihat ada tiga desa yang tertimbun longsor di wilayah itu.
Kini, sisa bukit terjal yang sebagian telah jatuh menimbun tiga desa itu masih berdiri sombong di atas wilayah itu. Seakan tidak peduli dengan tetes air mata keluarga korban yang kehilangan keluarganya.
Entah berada di mana. Entah berapa meter di bawah tanah. Sementara itu, hingga saat ini proses evakuasi masih dilakukan secara manual menggunakan cangkul dan gergaji kayu.
Hal itu membuat proses evakuasi menjadi sulit dan memakan waktu yang lama.Tim evakuasi di antaranya terdri dari TNI, Polri, Basarnas dan relawan dari Palang Merah Indonesia (PMI).
Kepala sub operasi Basarnas Pekanbaru Jasril, yang turut dalam proses evakuasi itu, mengatakan, masih belum tahu sampai kapan evakuasi dilakukan.
Ia mengatakan, medan yang sulit dan tidak adanya alat berat mengakibatkan sulitnya proses evakuasi.
Hingga saat ini diperkirakan masih ada ratusan warga yang tertimbun tanah longsor. Berdasarkan keterangan warga setempat, jumlah warga yang tertimbun tanah sekitar 200 orang.
Sementara itu, berdasarkan data sementara yang diperoleh dari Bupati Padang Pariaman, Muslim Kasim diketahui bahwa sekitar 130 orang yang masih tertimbun di dalam tanah.(*)
Longsor Itu Mengubur Ratusan Jiwa di Pariaman
5 Oktober 2009 02:57 WIB
Sejumlah tim SAR mengevakuasi korban longsor pada hari ke lima di kawasan Desa Pulau Air, Kec.Patamuan, Kab.PadangPariaman, Sumbar, Minggu (4/10). (ANTARA/Maril Gafur)
Oleh Oleh Wuryanti Puspitasari
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009
Tags: