Jakarta, 4/10 (ANTARA) - Target penurunan emisi karbon sebesar 26 persen pada 2020 yang dinyatakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendapatkan perhatian dan reaksi positif dari negara-negara peserta perundingan "Climate Change Talks" di Bangkok, Thailand.

"Apresiasi dimaksud merupakan pengakuan internasional atas kesungguhan RI mengatasi perubahan iklim. Pernyataan Presiden disampaikan pada waktu dan tempat yang tepat mengingat perundingan perubahan iklim memasuki tahap yang sangat kritis," kata Ketua Kelompok Kerja Pasca 2012 Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Tri Tharyat di Bangkok dalam siaran pers yang diterima ANTARA di Jakarta, Minggu.

Sesuai mandat Konferensi Bali 2007, Konferensi Kopenhagen Desember harus mampu menghasilkan kesepakatan

Presiden Yudhoyono pada pertemuan mengenai perubahan iklim di KTT G20 di Pittsburgh bulan kemarin menyatakan secara sukarela Indonesia menetapkan target capaian penurunan emisi GRK nasional secara jangka pendek, menengah, dan jangka panjang (2020 - 2050).

Tri mengatakan koalisi negara berkembang (Kelompok 77) memberikan apresiasi kepada Presiden SBY yang dalam pidatonya juga mengatasnamakan kepentingan negara berkembang.

Inisiatif Indonesia ini dianggap patut dijadikan contoh oleh negara maju dalam komitmen penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) secara individual dan agregat, katanya.

Selain Indonesia, pemerintah China Agustus lalu juga telah mengumumkan langkah serupa.

Dalam beberapa pertemuan bilateral selama perundingan perubahan iklim di Bangkok berlangsung, beberapa negara maju juga telah menunjukkan minatnya untuk mengetahui lebih dalam pernyataan Presiden SBY tersebut.

Tri mengatakan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional menyebut inisiatif Presiden RI sebagai perkembangan yang sangat "menjanjikan". Dengan adaya komitmen beberapa negara berkembang, Negara maju diharapkan lebih serius menangani masalah perubahan iklim.

Pada sidang pleno Jumat (2/10), Delegasi RI juga menegaskan kembali bahwa upaya mitigasi atau penurunan emisi ini bersifat sukarela dan untuk pencapaian target yang lebih tinggi memerlukan bantuan pendanaan, transfer teknologi, dan pengembangan kapasitas dari Negara maju.

Negara maju juga didesak untuk lebih menunjukkan keseriusan mereka dengan pendekatan target penurunan emisi nasional dan global sebagai kelanjutan Protokol Kyoto dan tidak "memaksa" Negara berkembang untuk mengikatkan diri pada kewajiban internasional.

Terkait serangkaian bencana alam di Indonesia, Samoa, Tonga, dan Filipina, dalam pertemuan pleno juga dilakukan serangkaian pernyataan bela sungkawa dan simpati kepada Pemerintah dan masyarakat korban bencana. *(*)