Jakarta (ANTARA) - Industri pariwisata di kawasan ASEAN sepakat mengembangkan konsep kerja sama travel bubble atau perjalanan lintas negara di tengah pandemi.

Plt. Deputi Bidang Sumber Daya dan Kelembagaan Kemenparekraf/Baparekraf, Frans Teguh, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat, mengatakan pariwisata adalah sektor yang sangat terpukul akibat pandemi.

"Berhentinya operasional maskapai penerbangan tentu berdampak sangat besar bagi agen perjalanan dan tour operator. Kita tidak pernah tahu kapan perjalanan akan kembali dibuka, dan ketika perjalanan itu pun dibuka, kondisinya tentu sangat berbeda. Dibutuhkan pendekatan dan penyesuaian yang baik dari industri," kata Frans Teguh.

Oleh karena itu dibutuhkan sebuah terobosan dimana konsep travel bubble dinilai menjadi salah satu langkah yang bisa dipersiapkan oleh negara-negara ASEAN.

Seperti diketahui, travel bubble sedang diminati oleh beberapa negara dalam merancang perjalanan lintas negara di tengah pandemi. Yakni ketika dua atau lebih negara telah berhasil mengontrol penyebaran virus corona, sepakat untuk menciptakan sebuah koridor perjalanan.

Koridor ini akan memudahkan penduduk yang tinggal di dalamnya melakukan perjalanan secara bebas, dan menghindari kewajiban karantina mandiri, kata Frans saat berbicara dalam Webinar internasional yang membahas dampak COVID-19 terhadap sektor pariwisata, Kamis (18/6).

Diskusi menghadirkan deretan narasumber, diantaranya Direktur Pemasaran Pariwisata Regional I Kemenparekraf/Baparekraf Vinsensius Jemadu, Presiden FATA Datuk Tan Kok Liang, Deputy of President ASEAN Tourism Association (ASEANTA) Eddy Krismeidi Soemawilaga, Academic Consultant Thammasat University Prof. Dr. Walter Jamieson, MCIP, Vice President of Thai Travel Agents Association Wachira Wichauwatana, Regional Director APCS & MER & Asia Pacific of IATA Vinoop Goel, serta Sektretaris ASITA Bali I Putu Winastra.

Para narasumber sepakat bahwa industri pariwisata mendapat tantangan yang besar dalam pandemi ini. Dibutuhkan kerja sama yang baik antara pemerintah dan industri baik di dalam negeri maupun kawasan untuk dapat membalikkan pandangan jika pariwisata akan menjadi sektor yang membutuhkan waktu paling lama untuk kembali normal.

Kolaborasi seluruh pemangku kepentingan pariwisata harus dapat menumbuhkan kepercayaan wisatawan bahwa bepergian di situasi normal baru nantinya dapat tetap memberikan rasa aman dan nyaman.

Deputy of President ASEAN Tourism Association (ASEANTA), Eddy Krismeidi Soemawilaga, mengatakan setiap negara di ASEAN memiliki situasi yang berbeda dalam menghadapi COVID-19. Meski demikian, kesiapan masing-masing negara dalam memasuki era normal baru pariwisata harus dapat seiring berjalan.

Menanti kehadiran vaksin masih membutuhkan waktu yang lama. Tapi di saat yang bersamaan, ekonomi di industri ini harus dapat berjalan kembali dengan mengimplementasikan protokol kesehatan yang baik.

"Jadi saya pikir implementasi normal baru adalah hal yang harus dijalankan, sebelum kita dapat memasuki situasi ketika vaksin telah berhasil ditemukan," kata dia.

Hal senada dikatakan Prof. Dr. Walter Jamieson, MCIP, Academic Consultant dari Thammasat University, Thailand. Menurutnya, saat ini adalah waktu yang tepat bagi industri pariwisata di seluruh negara Asia untuk melakukan penyesuaian. Tidak hanya untuk masa normal baru, tapi juga setelahnya karena normal baru hanyalah masa peralihan menuju situasi normal yang sebenarnya ketika vaksin ditemukan.

Baca juga: Menparekraf apresiasi kesiapan Bali tarik kepercayaan publik
Baca juga: Indonesia berencana buka koridor pariwisata dengan empat negara
Baca juga: Kemenparekraf tak ingin kehilangan wisman dari Australia