LIPI: Penting penalti atau hukuman bagi pelanggar PSBB
19 Juni 2020 18:34 WIB
Tangkapan layar saat Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Rusli Cahyadi menjadi pembicara dalam diskusi daring yang disiarkan di Youtube Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia - LIPI, Jumat (19/6/2020). (ANTARA/ Abdu Faisal)
Jakarta (ANTARA) - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan pentingnya memberikan penalti, denda atau hukuman bagi para pelanggar terkait aturan dalam pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Rusli Cahyadi mengatakan masyarakat sesungguhnya mendukung kebijakan PSBB dari pemerintah, namun pelonggaran PSBB seperti di sektor transportasi membuat masyarakat bingung.
“Masyarakat berharap ada ketegasan berupa sanksi bagi para pelanggar kebijakan karantina wilayah dengan melahirkan payung hukum yang jelas dan tegas,” kata Rusli dalam acara virtual "Talk to Scientists: Fenomena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), New Normal, dan Mobilitas dalam Kajian Sosial" di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Sekjen MUI usulkan sanksi hukum bagi pelanggar protokol kesehatan
LIPI melakukan kajian sosial melalui survei dalam jaringan dengan responden kurang lebih 2.000 orang untuk melihat persepsi masyarakat terhadap mobilitas dan transportasi.
Rusli menuturkan jika mobilitas penduduk dalam rangka mudik tidak dibatasi saat bulan Ramadhan dan Lebaran lalu, bisa terjadi ledakan kasus COVID-19 di berbagai daerah yang akan jauh lebih mengerikan dibanding yang terjadi sekarang ini.
Berdasarkan data statistik, setiap tahun jumlah orang yang melakukan mudik di masa Lebaran di Indonesia rata-rata 27 juta orang.
Dari survei itu, 21 persen responden menyatakan akan membatalkan rencana mudik ketika dikaitkan dengan risiko penularan COVID-19.
Masyarakat memikirkan ulang rencana mudik karena kekhawatiran akan risiko penularan COVID-19, pengetahuan tentang kelompok rentan dan orang tanpa gejala. Pembatalan mudik semakin mengemuka ketika wacana larangan mudik semakin kencang disuarakan.
Baca juga: Anies tegaskan sanksi pelanggar PSBB tetap berjalan di masa transisi
Baca juga: Petugas tutup paksa restoran pelanggar PSBB di Jalur Puncak Bogor
"Sayangnya potensi ini menjadi rusak, menjadi hilang, momentum itu menjadi hilang ketika wacana tentang relaksasi mulai dilakukan, bahkan sebelum larangan mudik itu berjalan," ujarnya.
Rusli mengatakan larangan mudik ternyata tidak memiliki implikasi cukup berat untuk mereka yang melakukan kegiatan mudik. Mereka hanya disuruh putar balik, dan satu-satunya hukuman adalah memutar balik.
"Mereka memutar balik itu tidak mencari tempat yang lain, kemudian memutar balik lagi ke tujuan sebelumnya," ujarnya.
Dalam persiapan menuju kenormalan baru, Rusli mengatakan perlunya peningkatan kepatuhan masyarakat untuk mengikuti anjuran pemerintah. "Pergerakan penduduk, apalagi dalam jumlah besar sangat berpengaruh pada kecepatan penularan corona," kata Rusli.
Rusli menuturkan disiplin atau kepatuhan atau lebih luas lagi partisipasi masyarakat adalah salah satu kunci dalam penanganan pandemi COVID-19.
"Keterlibatan masyarakat secara sukarela atau dipaksa negara secara ketat memiliki kontribusi yang sangat besar," ujar Rusli.
Baca juga: Polda Jatim mediasi insiden Satpol PP dan pelanggar PSBB
Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Rusli Cahyadi mengatakan masyarakat sesungguhnya mendukung kebijakan PSBB dari pemerintah, namun pelonggaran PSBB seperti di sektor transportasi membuat masyarakat bingung.
“Masyarakat berharap ada ketegasan berupa sanksi bagi para pelanggar kebijakan karantina wilayah dengan melahirkan payung hukum yang jelas dan tegas,” kata Rusli dalam acara virtual "Talk to Scientists: Fenomena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), New Normal, dan Mobilitas dalam Kajian Sosial" di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Sekjen MUI usulkan sanksi hukum bagi pelanggar protokol kesehatan
LIPI melakukan kajian sosial melalui survei dalam jaringan dengan responden kurang lebih 2.000 orang untuk melihat persepsi masyarakat terhadap mobilitas dan transportasi.
Rusli menuturkan jika mobilitas penduduk dalam rangka mudik tidak dibatasi saat bulan Ramadhan dan Lebaran lalu, bisa terjadi ledakan kasus COVID-19 di berbagai daerah yang akan jauh lebih mengerikan dibanding yang terjadi sekarang ini.
Berdasarkan data statistik, setiap tahun jumlah orang yang melakukan mudik di masa Lebaran di Indonesia rata-rata 27 juta orang.
Dari survei itu, 21 persen responden menyatakan akan membatalkan rencana mudik ketika dikaitkan dengan risiko penularan COVID-19.
Masyarakat memikirkan ulang rencana mudik karena kekhawatiran akan risiko penularan COVID-19, pengetahuan tentang kelompok rentan dan orang tanpa gejala. Pembatalan mudik semakin mengemuka ketika wacana larangan mudik semakin kencang disuarakan.
Baca juga: Anies tegaskan sanksi pelanggar PSBB tetap berjalan di masa transisi
Baca juga: Petugas tutup paksa restoran pelanggar PSBB di Jalur Puncak Bogor
"Sayangnya potensi ini menjadi rusak, menjadi hilang, momentum itu menjadi hilang ketika wacana tentang relaksasi mulai dilakukan, bahkan sebelum larangan mudik itu berjalan," ujarnya.
Rusli mengatakan larangan mudik ternyata tidak memiliki implikasi cukup berat untuk mereka yang melakukan kegiatan mudik. Mereka hanya disuruh putar balik, dan satu-satunya hukuman adalah memutar balik.
"Mereka memutar balik itu tidak mencari tempat yang lain, kemudian memutar balik lagi ke tujuan sebelumnya," ujarnya.
Dalam persiapan menuju kenormalan baru, Rusli mengatakan perlunya peningkatan kepatuhan masyarakat untuk mengikuti anjuran pemerintah. "Pergerakan penduduk, apalagi dalam jumlah besar sangat berpengaruh pada kecepatan penularan corona," kata Rusli.
Rusli menuturkan disiplin atau kepatuhan atau lebih luas lagi partisipasi masyarakat adalah salah satu kunci dalam penanganan pandemi COVID-19.
"Keterlibatan masyarakat secara sukarela atau dipaksa negara secara ketat memiliki kontribusi yang sangat besar," ujar Rusli.
Baca juga: Polda Jatim mediasi insiden Satpol PP dan pelanggar PSBB
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020
Tags: