Jakarta (ANTARA) - Pemerintah memastikan adanya pengendalian risiko agar rasio utang tetap terjaga dalam batasan aman dan tidak mengganggu keberlangsungan dari APBN di 2021.

"Upaya pengendalian yang dijalankan pemerintah adalah dengan tetap memperhatikan rasio utang tetap managable dan memenuhi aspek compliance," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Kamis.

Pernyataan itu disampaikan Menkeu saat menyampaikan tanggapan pemerintah terhadap pandangan fraksi atas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN TA 2021.

Sri Mulyani mengatakan rasio utang akan tetap dipertahankan agar tidak melampaui batas maksimal yang ditetapkan UU Nomor 17 Tahun 2003 maupun UU Nomor 2 Tahun 2020 yaitu 60 persen terhadap PDB.

Kebijakan pembiayaan utang ini juga dijalankan berdasarkan prinsip kehati-hatian, untuk kegiatan produktif, efisien dalam cost of funds dan mempertimbangkan kebijakan makro.

Pengendalian risiko ikut mencakup penerapan disiplin ketat pada penerbitan SBN yang diupayakan berada dalam tren required yield terus menurun sejak 2021 dan tahun-tahun selanjutnya.

"Pemerintah juga akan melakukan penguatan dalam standar penerapan manajemen risiko utang terutama dalam proses assesment dan protokol mitigasi ketika deviasi dalam indikator kinerja utang mengalami pelebaran," ujarnya.

Dalam dokumen Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2021, pemerintah memproyeksikan defisit anggaran sebesar 3,21 - 4,17 persen dari PDB.

Sementara itu, rasio utang diperkirakan berada dalam kisaran 36,67 sampai 37,97 persen terhadap PDB.

Sebagai gambaran, Kementerian Keuangan mencatat jumlah utang pemerintah per akhir Mei 2020 mencapai Rp5.258,57 triliun atau mencapai 32,09 persen terhadap PDB.

Rinciannya, sebesar Rp4.442,90 triliun atau 84,49 persen bersumber dari surat berharga negara (SBN) terdiri dari SBN dalam bentuk rupiah (domestik) sebesar Rp3.248,23 triliun dan valuta asing Rp1.194,67 triliun.

Selain SBN, utang juga berasal dari pinjaman atau 15,51 persen mencapai Rp815,66 triliun terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp9,94 triliun dan luar negeri Rp805,72 triliun.

Meningkatnya utang pemerintah itu karena adanya kebutuhan pembiayaan untuk mengatasi pandemi COVID-19 bagi sektor kesehatan, jaring pengaman sosial dan pemulihan ekonomi.

Baca juga: Menkeu imbau perusahaan waspada terkait risiko gagal bayar
Baca juga: Pemerintah akan terbitkan SBN Rp697,3 triliun hingga akhir 2020
Baca juga: Menkeu ingatkan tujuan dari pembiayaan utang