BKF tegaskan tidak ada diskon rokok dalam aturan pemerintah
18 Juni 2020 15:15 WIB
Petani mengeringkan tembakau di Kampung Tembakau, Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Rabu (5/2/2020). Adanya kenaikan cukai hasil tembakau atau cukai rokok sebesar 23 persen membuat petani tembakau khawatir pada turunnya serapan tembakau petani dari industri hasil tembakau. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/foc. (ANTARA FOTO/RAISAN AL FARISI)
Jakarta (ANTARA) - Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Oka Kusumawardani menegaskan tidak ada diskon rokok dalam peraturan yang dibuat oleh pemerintah yaitu Peraturan Dirjen Bea Cukai Nomor 37/2017.
“Perlu kita luruskan terminologinya diskon rokok ini betul tepat atau tidak. Kalau dari aturannya itu tidak ada menyebut atau dimaksudkan untuk mendiskon rokok,” katanya dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis.
Oka menyatakan dalam peraturan yang memperbolehkan harga transaksi pasar (HTP) 85 persen dari harga jual eceran (HJE) yang tercantum dalam pita cukai itu merupakan bentuk relaksasi dari pemerintah.
Ia menjelaskan setelah proses produksi ada beberapa jalur dalam distribusi yaitu ke wholeseller, retailer, dan terakhir ke konsumen yang pada masing-masing tahapan memerlukan biaya.
Oleh sebab itu, peraturan tersebut merupakan suatu bentuk ruang gerak yang diberikan pemerintah agar proses rantai distribusi dapat berjalan dengan baik.
“Untuk bisa memungkinkan rantai distribusi berfungsi dengan baik perlu ruang gerak dan dari situ diatur harga transaksi pasar yang dimungkinkan di bawah HJE tresshold 85 persen. Tidak ada istilah diskon rokok,” tegasnya.
Oka pun meminta kepada berbagai pihak bersama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) untuk mengawasi penerapan peraturan tersebut serta melakukan survei agar diketahui hal yang perlu diperbaiki.
“Dalam rangka pengawasan tersebut DJBC juga melakukan survei secara rutin apakah mekanisme ini masih tepat di lapangan atau perlu penyesuaian,” katanya.
Hal itu harus dilakukan mengingat kebijakan CHT sangat berkaitan dengan bidang lainnya seperti kesehatan masyarakat yaitu penurunan prevalensi merokok yang pada akhirnya mempengaruhi perbaikan kualitas SDM hingga ketenagakerjaan.
“Kompleksitas isu yang besar ini harus ditangani secara komprehensif. Kami take note concern semua itu untuk kemudian dijadikan referensi pengambilan kebijakan ke depannya,” katanya.
Baca juga: Pendapatan negara berpotensi hilang Rp1,26 triliun dari "diskon rokok"
Baca juga: DPR minta Bea Cukai tinjau kembali aturan 'diskon rokok'
Baca juga: Pemerintah diminta hapus kebijakan diskon rokok
“Perlu kita luruskan terminologinya diskon rokok ini betul tepat atau tidak. Kalau dari aturannya itu tidak ada menyebut atau dimaksudkan untuk mendiskon rokok,” katanya dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis.
Oka menyatakan dalam peraturan yang memperbolehkan harga transaksi pasar (HTP) 85 persen dari harga jual eceran (HJE) yang tercantum dalam pita cukai itu merupakan bentuk relaksasi dari pemerintah.
Ia menjelaskan setelah proses produksi ada beberapa jalur dalam distribusi yaitu ke wholeseller, retailer, dan terakhir ke konsumen yang pada masing-masing tahapan memerlukan biaya.
Oleh sebab itu, peraturan tersebut merupakan suatu bentuk ruang gerak yang diberikan pemerintah agar proses rantai distribusi dapat berjalan dengan baik.
“Untuk bisa memungkinkan rantai distribusi berfungsi dengan baik perlu ruang gerak dan dari situ diatur harga transaksi pasar yang dimungkinkan di bawah HJE tresshold 85 persen. Tidak ada istilah diskon rokok,” tegasnya.
Oka pun meminta kepada berbagai pihak bersama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) untuk mengawasi penerapan peraturan tersebut serta melakukan survei agar diketahui hal yang perlu diperbaiki.
“Dalam rangka pengawasan tersebut DJBC juga melakukan survei secara rutin apakah mekanisme ini masih tepat di lapangan atau perlu penyesuaian,” katanya.
Hal itu harus dilakukan mengingat kebijakan CHT sangat berkaitan dengan bidang lainnya seperti kesehatan masyarakat yaitu penurunan prevalensi merokok yang pada akhirnya mempengaruhi perbaikan kualitas SDM hingga ketenagakerjaan.
“Kompleksitas isu yang besar ini harus ditangani secara komprehensif. Kami take note concern semua itu untuk kemudian dijadikan referensi pengambilan kebijakan ke depannya,” katanya.
Baca juga: Pendapatan negara berpotensi hilang Rp1,26 triliun dari "diskon rokok"
Baca juga: DPR minta Bea Cukai tinjau kembali aturan 'diskon rokok'
Baca juga: Pemerintah diminta hapus kebijakan diskon rokok
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2020
Tags: