Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Edi Hasibuan menilai Tim Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Merah Putih Polri layak menerima penghargaan lantaran mengungkap beberapa kasus besar narkoba.

"Sangat layak seluruh anggota timnya mendapatkan apresiasi," kata Edi di Jakarta, Selasa.

Lemkapi sebagai perwakilan dari masyarakat Indonesia, kata dia, akan menganugerahi penghargaan kepada Satgassus Merah Putih Polri yang dikomandoi Brigjen Polisi Ferdy Sambo itu.

Baca juga: Legislator: Polri lebih intensif pantau jaringan narkoba internasional

Baca juga: Bamsoet apresiasi Polri gagalkan peredaran narkoba hampir 1 ton


Edi yakin Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis juga memperhatikan terhadap kinerja Satgassus Merah Putih usai membongkar kasus "kakap".

Selain penghargaan, mantan anggota Kompolnas itu menyatakan bahwa Satgassus Merah Putih Polri dapat menjadi contoh dan motivasi bagi institusi maupun pasukan satgassus lainnya.

Satgassus Merah Putih, lanjut dia, menunjukkan kinerja cemerlang yang mampu menyelamatkan masyarakat Indonesia dari penyalahgunaan narkoba hingga menuai apresiasi dari berbagai pihak.

Baca juga: Tantangan ungkap sabu nyaris satu ton saat COVID-19

Baca juga: Ungkap 6,9 ton narkoba dalam 6 bulan Polri komitmen berantas narkoba


Sebelumnya, anggota Satgassus Merah Putih Polri yang dipimpin Kombes Polisi Nico Afinta dan Kombes Polisi Herry Heryawan atau Heriemen mengungkap 1.000 kilogram atau 1 ton di dermaga bekas bangunan Hotel Mandalika, Anyer, Serang, Banten pada bulan Juli 2017.

Satgassus Merah Putih di bawah komando Brigjen Polisi Ferdy Sambo dan Kasubsatgas Lidik Kombes Polisi Herry Heryawan mengungkap kasus sabu-sabu nyaris seberat satu ton atau 821 kilogram di Serang, Banten pada tanggal 19 Mei 2020.

Kemudian pada tanggal 4 Juni, tim khusus itu mengungkap peredaran 402 kg sabu-sabu jaringan Iran di Sukabumi, Jawa Barat.

Baca juga: Polisi tembak bandar narkoba di Sumut

Edi menegaskan bahwa Indonesia menjadi target penyelundupan narkoba karena terdapat banyak pelabuhan "tikus" dan pengawasan yang belum maksimal terkait dengan penggunaan telepon seluler di lembaga pemasyarakatan.

Akibat lemahnya pengawasan terhadap penghuni yang mendekam di balik jeruji besi, menurut dia, memungkinkan bandar besar bisa mengendalikan jaringan narkoba.