Singapura (ANTARA) - Pemerintah Singapura akan mengizinkan kembali perkumpulan orang dalam jumlah kecil dan membolehkan restoran serta pertokoan beroperasi mulai Jumat (19/6), kata Kementerian Kesehatan Singapura, Senin.

Otoritas setempat akan mengizinkan lebih dari lima orang berkumpul mulai Jumat ini ketika sebagian besar masyarakat kembali beraktivitas setelah mematuhi aturan pembatasan yang berlaku lebih dari dua bulan.

Menurut pemerintah, pembatasan itu merupakan kebijakan "pemutus rantai" penyebaran Covid-19, penyakit menular yang disebabkan virus Corona jenis baru (SARS-CoV-2).

Baca juga: Indonesia bisa contoh mitigasi Singapura hadapi pandemi COVID-19

Namun, masing-masing warga tetap harus menjaga jarak aman selama beraktivitas.

Singapura mencatat kasus positif Covid-19 mencapai lebih dari 40.000 jiwa, angka itu jadi salah satu yang tertinggi di Asia. Kasus positif tinggi setelah ada penularan massal di asrama para pekerja migran.

Namun, pemerintah setempat awal bulan ini membuka kembali sekolah dan tempat usaha.

Pemerintah Singapura, Senin, mengatakan, kasus positif dari klaster asrama pekerja migran telah menurun. Menurut otoritas setempat, tidak ada klaster penularan Covid-19 yang besar ditemukan di Singapura.

Baca juga: Singapura perbolehkan obat remdesivir untuk pasien COVID-19 parah

Saat Singapura mulai membuka perekonomiannya, banyak negara di dunia khawatir terhadap gelombang penularan baru.

"Kami menyadari fakta kita kemungkinan menghadapi kasus baru saat masyarakat kembali menjalani rutinitasnya, mengingat mereka terbiasa menjalani kebiasaan sebelum kebijakan pembatasan diberlakukan," kata Direktur Layanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Kenneth Mak, saat jumpa pers.

Mal, gim, taman dan pantai juga masuk daftar tempat yang akan kembali dibuka oleh pemerintah. Namun, pemerintah masih melarang perkumpulan massa untuk kegiatan keagamaan, bar, teater, dan acara berskala besar.

Otoritas setempat juga mengatakan perusahaan tetap memberlakukan sistem kerja dari rumah jika memungkinkan.

Sumber: Reuters