Jakarta (ANTARA) - Penyebaran coronavirus disease 2019 (COVID-19) memasuki bulan keempat di Indonesia. Berbagai aspek kehidupan masyarakat mengalami perubahan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan hasil survei sosial demografi dampak COVID-19 baru-baru ini. Survei tersebut memotret perbandingan perilaku laki-laki dan perempuan terhadap protokol kesehatan pencegahan terinfeksi SARS-CoV-2.

Selain itu, kesiapan masyarakat menuju normal baru, perbandingan persepsi terhadap COVID-19, lalu terhadap upaya memutus rantai penularannya, termasuk dampak pandemi terhadap pendapatan dan pengeluaran masyarakat.

Direktur Analisis dan Pengembangan Statistik BPS Ali Said mengatakan tujuan survei tersebut ada tiga, yakni mendapatkan data statistik cepat dampak COVID-19, menggali perilaku masyarakat terkait dengan penanganan COVID-19, dan mendapatkan gambaran sosial ekonomi masyarakat terdampak COVID-19.

Pada survei itu, BPS menggunakan metode non probability sampling guna memperoleh respons cepat dengan dana terbatas di tengah sulitnya mengakses responden pada masa pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Dari lima metode non probability, BPS memilih menggunakan convenience sampling, self selection, dan snowballing sampling.

Total 128.600 sampel merespons survei tersebut. Namun, eligible sampel dengan pembatasan umur dan kelengkapan isian survei didapat dari 87.379 responden dengan usia di atas 17 tahun yang dinilai cukup proporsional mewakili wilayah dan sebaran penduduk Indonesia, termasuk keterwakilan dari sisi gender, meski tidak untuk pendidikan.

Responden memiliki riwayat pendidikan lulusan SMA ke atas dan didominasi lulusan universitas.

"Mungkin ini bisa bias di satu sisi, tapi kami dapat informasi valid karena pendidikan bagus responden," kata Ali Said.

Baca juga: Survei BPS tunjukkan perempuan lebih baik dalam mencegah COVID-19

Sejumlah akademisi, praktisi, dan peneliti demografi dari Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI), dan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia mengulas hasil survei tersebut dan melakukan pengayaan guna melengkapi kekurangannya sehingga dapat menjadi dasar pengambilan kebijakan yang lebih efektif dan efisien.

Pukulan telak
Nyaris semua sektor perekonomian terdampak pandemi COVID-19 dan tentu menjadi pukulan telak bagi tenaga kerjanya, terutama mereka di sektor transportasi, akomodasi, perdagangan, hiburan.

Kondisi tersebut berimbas langsung terhadap pendapatan mereka.

Tenaga kerja yang hingga saat ini masih memperoleh pendapatan tetap diduga karena mereka merupakan pegawai tetap, atau karena masih pada bulan awal pandemi COVID-19, sedangkan tenaga kerja yang pendapatannya mengalami penurunan diduga berada di sektor pekerjaan paling terdapak, atau jam kerja yang berhubungan dengan pendapatan langsung menurun karena penerapan kebijakan bekerja dari rumah atau work from home (WFH).

Setidaknya 46.310 responden atau 53 persen dari total responden di mana pekerjaannya tidak memungkinkan untuk menerapkan WFH menyebut, mengalami penurunan pendapatan.

Meski demikian, ada satu persen atau 873 responden yang justru menyatakan mengalami peningkatan pendapatan selama pandemi COVID-19.

Sementara itu, 4.000 di antara responden yang tempat kerjanya tidak menerapkan WFH alias masuk seperti biasa sejak awal SARS-CoV-2 merebak, mengaku mengalami penurunan pendapatan. Dan ada 1.747 atau dua persen di antara mereka yang mengalami peningkatan pendapatan.

Responden yang tempat kerjanya menjalankan sebagian WFH dan masuk kantor, 62 persen atau sekitar 54.174 orang pendapatannya tetap, sedangkan yang mengaku mengalami penurunan pendapatan selama pandemi mencapai 32.330 tenaga kerja.

Baca juga: BPS: Generasi Z paling sulit ikuti protokol kesehatan cegah COVID-19

Kondisi tersebut mendapat sorotan dari Ketua Umum IPADI Sudibyo Alimoeso. Praktisi yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Utama Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tersebut, mengatakan hasil survei BPS itu paling tidak suatu peringatan dini untuk pemerintah segera mengambil kebijakan yang tepat guna memastikan ketahanan keluarga terjaga.

Penyesuaian diri atau adaptasi keluarga dalam era normal baru sangat menentukan untuk membangun ketahanan keluarga di tengah pusaran pandemi yang belum diketahui ujungnya. Jika keluarga mempunyai ketahanan yang bagus maka mereka mempunyai peluang yang lebih besar untuk memetik bonus demografi.

Alimoeso mengatakan jika dilihat ketahanan keluarga dari sisi ekonomi sudah mulai terusik, karena pekerja sudah ada yang dirumahkan bahkan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Hal tersebut tentu memengaruhi kondisi keuangan keluarga, sementara tabungan diperkirakan mungkin hanya cukup untuk dua bulan saja," katanya.

Dari sisi sosial, kondisinya masih sangat rentan dalam menghadapi pandemi COVID-19, di mana masih ada yang tidak benar-benar paham untuk apa menjaga jarak, sehingga edukasi yang baik diperlukan.

Ia menyarankan sosialisasi dengan kalimat dan jargon yang mudah dipahami saja, tidak terlalu banyak istilah.

Dari sisi psikologis, hasil survei BPS menyebutkan perempuan dua kali lebih besar mengalami kekhawatiran selama masa pandemi COVID-19.

Ia mengatakan ada hal mendesak yang perlu dilakukan untuk membantu mengurangi beban psikologis tersebut dari perempuan.

Dari survei terungkap bahwa perempuan lebih banyak terpengaruh pemberitaan COVID-19. Mereka paling khawatir dengan kesehatan keluarga, mengkhawatirkan dirinya sendiri, dan lebih banyak perempuan khawatir saat harus keluar rumah.

"COVID-19 ini membuat khawatir, secara psikologi sangat luar biasa, terutama kekhawatiran sampai kehilangan anggota keluarga. Tapi kalau sampai Juli tidak berhasil diatasi kecemasan bisa meningkat lagi. Media massa ini memicu, karenanya harus menjadi sumber informasi yang menenangkan di tengah maraknya hoaks. Jadi yang baik-baik saja yang diberitakan karena kalau kematian terus bikin kekhawatiran semakin besar," ujar Alimoeso.

Baca juga: Begini pola belanja generasi milenial selama pandemi COVID-19

Ia menegaskan sangat sulit memetik bonus demografi dalam kondisi saat ini.

Karenanya, pemerintah perlu mengintervensi meningkatkan kelentingan keluarga dalam mengantisipasi dan adaptif menghadapi kondisi pandemi yang tidak diketahui akhirnya, sehingga produktivitas keluarga terjaga dan kesempatan merasakan bonus demografi.

Aspek gender
Dari aspek gender, menurut peneliti Lembaga Demografi FEB Universitas Indonesia Diahhadi Setyonaluri, survei BPS menarik, di mana dalam penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan pencegahan COVID-19 terlihat responden perempuan lebih hati-hati.

"Ini ada ceritanya sendiri memang," ucapnya.

Meski hasil survei belum dapat memperlihatkan disagregasi dampak ekonomi, namun sudah dapat menampilkan persentase perbandingan laki-laki yang lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan perempuan yang terkena PHK, dan begitu pula soal penurunan pendapatan.

Namun, ia mengkritisi bahwa kondisi saat ini di Indonesia ada segregasi pasar kerja untuk gender.

Diah menilai perlu ada pendekatan responsif gender, mengingat dampak COVID-19 tidak netral gender.

Data terpilah menurut gender penting untuk memotret dampak yang ternyata dari hasil survei BPS juga dapat diketahui bahwa perilaku lebih tidak taat protokol kesehatan di masa pandemi, yang kemudian mungkin dapat menjadi jawaban mengapa laki-laki lebih rentan terinfeksi dibandingkan dengan perempuan.

Baca juga: BPS: Bekerja atau sementara dirumahkan alami penurunan pendapatan

Perempuan garda terdepan di sektor kesehatan yang menangani pasien mengingat 63 persen perawat di Indonesia adalah perempuan, dan perawat biasanya menjadi yang pertama menerima pasien sehingga mereka mewakili perempuan yang juga rentan terinfeksi SARS-CoV-2.

"Peran "caregivers" masih menjadi tanggung jawab utama perempuan membuat mereka lebih hati-hati memikirkan segala macam dan hal itu seringkali menimbulkan efek sampingan kesehatan mental," ujar dia mengomentari hasil survei BPS yang menunjukkan perempuan lebih rentan secara psikologi dan lebih baik dalam mengikuti protokol kesehatan pencegahan COVID-19.

Diah menyoroti soal kerentanan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang tidak tertangkap dalam survei BPS, padahal survei lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan Komnas Perempuan menunjukkan ada peningkatan selama masa PSBB.

Maka, data survei LSM dan Komnas Perempuan tersebut perlu ditempelkan ke surveri BPS untuk mempercepat formulasi kebijakan yang sesuai untuk menyelesaikan persoalan itu.

Ia juga menyoroti tidak adanya hasil survei yang menunjukkan apakah WFH menjadi hal baik atau menjadi tambahan beban bagi perempuan mengingat "sekolah" dan pekerjaan dipindahkan ke rumah.

Selain itu, kerentanan perempuan pekerja kehilangan pekerjaan di sektor rentan terdampak COVID-19, di mana kebanyakan mereka bekerja tanpa kontrak yang jelas, baik bersifat tertulis maupun verbal.

Berbagai topik erat gender di bawah puncak gunung es, ada kemiskinan, kesehatan reproduksi, disabilitas, dan KDRT.

Ia mengusulkan perlunya pembuatan pendekatan kebijakan yang responsif gender dan kelompok rentan.

Pesan utamanya, perlu dilihat data yang teragregasi menurut gender dan kategori untuk menangkap kelompok rentan, sehingga bisa melihat prioritas kelompok terdampak dan segera dapat diformulasikan kebijakan yang tepat sasaran.

Baca juga: Cegah COVID-19, BPS sampaikan hasil survei ekonomi via telekonferensi
Baca juga: Menaker: Pekerja terdampak COVID-19 bisa lebih dari 3 juta orang
Baca juga: Pengamat berharap iklim ekonomi terus terjaga