Gubes Undip sarankan baku mutu air pertimbangkan pencemaran virus
12 Juni 2020 23:25 WIB
Ilustrasi - Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Paser membekali Alat Pelindung Diri (APD) bagi petugas pengangkut sampah limbah infeksius dari pasien positif COVID-19 maupun Orang Dalam Pemantauan (ODP) yang dikarantina di hotel Kyriad Sadurengas.
Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Departemen Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (Undip) Prof Syafrudin menyarankan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Lingkungan Hidup menyesuaikan kebijakan terkait baku mutu air untuk antisipasi virus.
Prof Syafrudin dalam diskusi BMKG yang membahas soal Iklim, Kualitas Udara dan Lingkungan Masa Pandemi COVID-19 di Jakarta, Jumat, menyatakan berbagai macam limbah bahan beracun berbahaya (B3) padat dan juga air limbah yang diperkirakan berisiko terhadap kesehatan.
Alat Pelindung Diri (APD) bekas, handuk tangan bekas, APD yang digunakan saat dekontaminasi ruangan dan ambulance, kapas bekas, alat suntik bekas, set infus bekas, ampul bekas, perban bekas, alat makan dan minum bekas pasien, botol, kaca bekas, APD yang digunakan saat pemulasaran jenazah merupakan yang termasuk limbah B3 padat yang sudah banyak dibahas.
Sedangkan air limbah COVID-19 seperti semua air buangan termasuk tinja yang berasal dari penanganan pasien yang memungkinkan mengandung mikroorganisme, cairan yang digunakan saat isolasi pasien meliputi cairan dari mulut dan atau hidung atau air kumur pasien, kata Prof Syafrudin, perlu diperhatikan.
Baca juga: PMI gandeng akademis UI untuk kelola limbah disinfektan
Baca juga: Limbah infeksius COVID-19 diperkirakan meningkat 30 persen
Termasuk air cucian alat kerja, alat makan dan minum pasien dan atau cucian linen, yang berbahaya bagi kesehatan. Namun, dengan masih adanya sistem pembuangan air limbah tanpa pengurusan yang benar, termasuk di rumah tangga, menurut dia, perlu diwaspadai.
Ia mengatakan virus penyebab COVID-19 belum terdeteksi dalam penyediaan air minum. Dan berdasarkan bukti yang ada saat ini, risiko terhadap kontaminasi air tergolong rendah.
Secara konvensional, ia mengatakan teknologi filtrasi dan desinfeksi diperkirakan cukup membunuh virus corona. Karena diselubungi membran lemak yang tidak kuat maka virus cenderung sensitif dengan klorin dan desinfektan.
Ia mengatakan beberapa jenis virus corona diketahui memiliki reaksi sensitif terhadap klorinasi dan desinfeksi dengan ultraviolet.
Namun, studi laboratorium virus corona yang diletakkan dalam lingkungan yang diawasi dengan baik, mengindikasikan bahwa virus masih dapat menimbulkan infeksi di dalam air yang terkontaminasi tinja manusia selama berhari-hari atau berpekan-peka.
Padahal sungai itu sumber air permukaan untuk kebutuhan air masyarakat. Dengan demikian pengolahan air minum harus bisa menjamin dengan persyaratan yang sesuai.
Tapi dalam aturan baku mutu air di Kementerian Kesehatan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan belum memasukkan untuk virus seperti ini (SARS-CoV-2), baru E coli saja, ujar dia. Karena itu perlu dipikirkan.*
Baca juga: Persoalan pandemi adalah limbah medis infeksius COVID-19
Baca juga: Ini jurus KLHK perkuat pengelolaan limbah infeksius Covid-19
Prof Syafrudin dalam diskusi BMKG yang membahas soal Iklim, Kualitas Udara dan Lingkungan Masa Pandemi COVID-19 di Jakarta, Jumat, menyatakan berbagai macam limbah bahan beracun berbahaya (B3) padat dan juga air limbah yang diperkirakan berisiko terhadap kesehatan.
Alat Pelindung Diri (APD) bekas, handuk tangan bekas, APD yang digunakan saat dekontaminasi ruangan dan ambulance, kapas bekas, alat suntik bekas, set infus bekas, ampul bekas, perban bekas, alat makan dan minum bekas pasien, botol, kaca bekas, APD yang digunakan saat pemulasaran jenazah merupakan yang termasuk limbah B3 padat yang sudah banyak dibahas.
Sedangkan air limbah COVID-19 seperti semua air buangan termasuk tinja yang berasal dari penanganan pasien yang memungkinkan mengandung mikroorganisme, cairan yang digunakan saat isolasi pasien meliputi cairan dari mulut dan atau hidung atau air kumur pasien, kata Prof Syafrudin, perlu diperhatikan.
Baca juga: PMI gandeng akademis UI untuk kelola limbah disinfektan
Baca juga: Limbah infeksius COVID-19 diperkirakan meningkat 30 persen
Termasuk air cucian alat kerja, alat makan dan minum pasien dan atau cucian linen, yang berbahaya bagi kesehatan. Namun, dengan masih adanya sistem pembuangan air limbah tanpa pengurusan yang benar, termasuk di rumah tangga, menurut dia, perlu diwaspadai.
Ia mengatakan virus penyebab COVID-19 belum terdeteksi dalam penyediaan air minum. Dan berdasarkan bukti yang ada saat ini, risiko terhadap kontaminasi air tergolong rendah.
Secara konvensional, ia mengatakan teknologi filtrasi dan desinfeksi diperkirakan cukup membunuh virus corona. Karena diselubungi membran lemak yang tidak kuat maka virus cenderung sensitif dengan klorin dan desinfektan.
Ia mengatakan beberapa jenis virus corona diketahui memiliki reaksi sensitif terhadap klorinasi dan desinfeksi dengan ultraviolet.
Namun, studi laboratorium virus corona yang diletakkan dalam lingkungan yang diawasi dengan baik, mengindikasikan bahwa virus masih dapat menimbulkan infeksi di dalam air yang terkontaminasi tinja manusia selama berhari-hari atau berpekan-peka.
Padahal sungai itu sumber air permukaan untuk kebutuhan air masyarakat. Dengan demikian pengolahan air minum harus bisa menjamin dengan persyaratan yang sesuai.
Tapi dalam aturan baku mutu air di Kementerian Kesehatan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan belum memasukkan untuk virus seperti ini (SARS-CoV-2), baru E coli saja, ujar dia. Karena itu perlu dipikirkan.*
Baca juga: Persoalan pandemi adalah limbah medis infeksius COVID-19
Baca juga: Ini jurus KLHK perkuat pengelolaan limbah infeksius Covid-19
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020
Tags: