Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Yan P Mandenas, mengatakan, jangan mengaitkan kasus rasisme di Surabaya dengan kasus yang menimpa George Floyd di Amerika Serikat karena konteksnya berbeda dari aspek kepentingan politik, sosial budaya, dan ekonomi.

"Saya berharap kasus rasisme di Surabaya tidak dihubungkan dengan kasus yang menimpa George Floyd di Amerika karena konteksnya berbeda dari aspek kepentingan politik, sosial budaya dan ekonomi di negara maju seperti AS dibandingkan dengan Indonesia yang sedang membangun bangsa kita bersama dari sabang sampai Merauke," kata dia, di Jakarta, Jumat.

Baca juga: Freddy Numberi: Persoalan Floyd berbeda dengan Papua

Ia mengatakan, kejadian Floyd di AS berpotensi mengingatkan masyarakat Indonesia pada masalah rasisme yang terjadi terhadap mahasiswa asal Papua di Surabaya beberapa waktu lalu.

Namun menurut dia, berbagai langkah penyelesaian masalah rasisme secara strategis sudah dilakukan pemerintah pusat dan tentunya disadari masyarakat Papua terlebih khusus para mahasiswa belum tentu puas dengan langkah-langkah hukum yang sudah dilakukan terhadap pelaku rasialis.

"Namun masih ada langkah hukum lanjutan jika kita anggap putusan tersebut belum memuaskan maka dilanjutkan ke tahapan selanjutnya atas dasar putusan pengadilan sehingga benar-benar mendapatkan putusan hukum yang memuaskan masyarakat Papua," katanya.

Baca juga: Kasus George Floyd dan krisis demokrasi Amerika Serikat

Ia mengatakan, semua pihak harus yakin bahwa Indonesia yang didirikan atas landasan yang baik untuk melindungi seluruh bangsa dan kekayaan budaya yang dimiliki setiap daerah.

Dengan tujuan itu, menurut dia, Indonesia dilengkapi dengan instrumen negara yang disebut dengan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa, artinya negara juga menghargai kesamaan hak masyarakat Papua sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hal itu, menurut dia, bisa dibuktikan dengan berbagai keberpihakan pemerintah pusat melalui kebjikan otonomi khusus dan kaderisasi orang asli Papua pada beberapa jabatan strategis, baik struktural dan non-struktural.

Baca juga: Lestari Moerdijat: Tidak ada ruang bagi rasisme tumbuh di Indonesia

"Kaderisasi orang asli Papua pada beberapa jabatan strategis seperti struktural dan non-struktural; misalnya TNI/Polri sudah mulai muncul beberapa jenderal orang asli Papua," ujarnya.

Untuk itu dia mengajak seluruh tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda, tokoh perempuan Papua, LSM, dan mahasiswa Papua untuk selalu mengedepankan dialog dalam menyelesaikan berbagai persoalan Papua.

Langkah itu menurut dia agar tidak menimbulkan aksi provokatif di masyarakat yang berakibat kerugian bagi diri sendiri.

Baca juga: WNI di AS serukan persatuan di tengah protes rasisme

"Saya juga mengajak seluruh elemen masyarkat Papua untuk aktif berkomunikasi melalui para pemimpin Papua termasuk saya sendiri sebagai anggota DPR asal Papua untuk duduk bersama memikirkan konsep terbaik membangun Papua ke depan," katanya.

Menurut dia langkah itu juga untuk menghindari pengaruh-pengaruh negatif yang dikaitkan dengan isu Papua merdeka, karena akan semakin menyudutkan masyarakat dalam bingkai NKRI dan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Ia juga berharap pemerintah pusat terus membuka ruang dialog dengan seluruh elemen masyarakat Papua lebih khusus mahasiswa Papua untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan karena Papua merupakan bagian penting dari NKRI yang wajib dijaga bersama.

Baca juga: Warga Sentani diimbau tidak terprovokasi isu rasisme