Gulu (ANTARA) - Ketika pemerintah Uganda memerintahkan tempat kerja non-esensial ditutup untuk menahan laju penyebaran virus corona pada Maret lalu, Peter Okwoko dan rekannya Paige Balcom terus bekerja.

Tetapi pasangan yang telah mengolah limbah plastik menjadi bahan bangunan seperti genteng dan paving block sejak tahun lalu, berubah haluan dan memulai membuat pelindung wajah dari botol plastik bekas.

Saat mereka mengunggah gambar prototipe pelindung itu di media sosial, mereka mendapat telepon mengejutkan dari rumah sakit umum setempat.

"Dokter dari rumah sakit rujukan wilayah Gulu meminta kami membuat 10 masker pelindung wajah karena mereka tidak punya cukup dan rumah sakit baru saja menerima pasien COVID-19 pertamanya," kata Okwoko (29) salah satu pendiri Takataka Plastics.

Perusahaan sosial mulai bekerja merobek-robek plastik, melelehkannya, dan membentuk plastik cair menjadi pelindung wajah dan bingkai dengan menggunakan cetakan buatan lokal. Segera satu set pertama pelindung wajah dikirimkan ke rumah sakit.

Baca juga: Turki sumbang sepeda untuk bantu Uganda lawan corona
Baca juga: Panel WHO tidak deklarasikan darurat Ebola di Kongo dan Uganda


"Tetapi pada sore hari, rumah sakit menelepon lagi. Mereka mengatakan mereka membutuhkan lebih banyak pelindung wajah karena yang sebelumnya telah berfungsi dengan baik bagi mereka," kata Okwoko.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ketika pandemi virus corona terus menyebar di seluruh dunia, penyakit itu menyebabkan gangguan besar dalam pasokan alat pelindung diri (APD).

Masalahnya sangat parah di negara-negara miskin dengan sedikit sumber daya untuk membayar harga tinggi di pasar global yang kompetitif.

Pada Maret, para pejabat WHO mendesak perusahaan di seluruh dunia untuk meningkatkan produksi sebesar 40 persen jika memungkinkan, untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat.

Di Uganda, pekerja medis telah membahas boikot kerja untuk memprotes kurangnya peralatan pelindung di rumah sakit, terutama setelah beberapa petugas kesehatan dipastikan terinfeksi virus.

"Situasinya kritis. Banyak orang bekerja tanpa APD," kata Dr. Mukuzi Muhereza, sekretaris jenderal Asosiasi Medis Uganda, pekan lalu.

"Itu menghambat perjuangan melawan COVID-19 karena ada ketakutan di antara petugas kesehatan bahwa setiap kali saya menyentuh seorang pasien saya sendiri mungkin menjadi pasien COVID," ujar dia.

Akhir bulan lalu, kementerian kesehatan mengatakan rumah sakit umum Uganda kemungkinan kehabisan stok peralatan pelindung yang ada dalam tiga bulan.

"Memang benar kita menghadapi kekurangan APD," kata Emmanuel Ainebyoona, juru bicara kementerian, kepada Thomson Reuters Foundation dalam sebuah wawancara telepon.

"Kami mendesak semua rumah sakit untuk memanfaatkan sedikit yang mereka miliki dengan memprioritaskan (pekerja medis) yang paling berisiko."

Dalam pidato kenegaraannya minggu lalu, Presiden Yoweri Museveni mengatakan Uganda---yang sejauh ini memiliki sekitar 650 kasus virus yang dikonfirmasi---telah mensertifikasi 10 industri lokal untuk mulai membuat APD.

Tetapi Takataka Plastics telah berproduksi di Gulu sejak Maret, dengan 14 staf sekarang telah membuat sekitar 1.200 pelindung wajah dari plastik daur ulang, kata Okwoko.

Sekitar 500 pelindung telah dijual dengan biaya rendah ke LSM dan fasilitas kesehatan swasta dan 700 lainnya disumbangkan ke rumah sakit umum.

Balcom (26) seorang insinyur mesin yang bertemu Okwoko pada 2019 saat melakukan penelitian tentang polusi plastik di Uganda, mengatakan beberapa bahan yang digunakan dalam pelindung wajah sekarang berasal dari limbah rumah sakit, seperti botol infus bekas pakai.

Enam dari mereka yang membuat pelindung adalah pemuda tunawisma yang dipekerjakan oleh kelompok itu, katanya.

Untuk membuat pelindung wajah, yang prosesnya berlangsung selama dua hari, para pekerja memilah, membersihkan, merobek, melelehkan dan mencetak plastik bekas.

Kemudian mereka memasang tali pengikat, terkadang dibuat dari irisan ban dalam sepeda tua.

Kelompok ini memproduksi pelindung wajah sekali pakai yang harganya sekitar 1 dolar AS (Rp14 ribu) dengan bingkai yang terbuat dari busa murah, atau yang dapat digunakan kembali dengan bingkai plastik, yang harganya sekitar 2,70 dolar AS (Rp38 ribu).

Di negara di mana diperkirakan 600 ton sampah plastik dibuang setiap hari---lebih dari setengahnya tidak terkumpul dan kurang dari 5 persen didaur ulang---upaya ini juga membantu memerangi polusi plastik dan udara kotor.

Pembakaran limbah plastik, yang dapat menghasilkan gas beracun dan karsinogen, menjadi hal umum, kata Balcom.

Di kota utara Gulu, tempat Takataka beroperasi, setidaknya 80 persen sampah plastik tidak dikumpulkan dan tumpukan itu berakhir di saluran air, di tepi jalan dan di tanah kosong.

Takataka sekarang berharap untuk memperluas operasinya menjadi pabrik pengolahan plastik skala penuh yang mampu mendaur ulang 9 ton sampah plastik setiap bulan, naik dari sekitar 60 kilogram plastik per hari saat ini.

"Tetapi fokus kami saat ini adalah untuk melawan COVID-19," kata Balcom.

Sumber: Thomson Reuters Foundation

Baca juga: Pakar lihat kenaikan tren plastik sekali pakai saat wabah COVID-19
Baca juga: Relawan PMI dilatih daur ulang limbah plastik