Jayapura (ANTARA News) - Umat Katolik di Papua-wilayah paling timur dari Republik Indonesia menerima amanat Idul Fitri yang dikeluarkan Dewan Kepausan Vatikan untuk Dialog Antar-Umat Beragama bertemakan "Umat Kristiani dan Umat Islam Bersama Mengentaskan Kemiskinan".
Dari Jayapura, Rabu, ANTARA melaporkan, amanat Takhta Suci Vatikan untuk akhir bulan suci Ramadhan - Hari Raya Idul Fitri 1430 H/2009 AD itu mulai dibaca dan didiskusikan serta didalami banyak warga Gereja Katolik di wilayah ini.
Amanat Vatikan ini pun mendapat perhatian serius dari para mahasiswa Katolik yang sedang belajar di berbagai Perguruan Tinggi di tanah Papua khususnya para mahasiswa yang sedang menekuni ilmu-ilmu agama di lembaga pendidikan para calon pastor, biarawan-biarawati dan calon guru agama Katolik.
Di dalam perkumpulan-perkumpulan keluarga-keluarga Katolik, amanat Vatikan ini dibahas para anggota keluarga dan diperdalam isi amanat itu untuk dilaksanakan dalam kehidupan setiap hari di tengah kemajemukan umat beragama di tanah Papua.
Dewan Kepausan untuk Dialog Antar-Umat Beragama yang diketuai Jean-Louis Cardinal Tauran dan Sekretaris, Uskup Agung Pier Luigi Celata itu mengawali pesan Idul Fitri 1430 H dengan menyapa umat Islam sebagai Saudara yang terkasih.
"Saudara Umat Islam yang terkasih, pada Hari Raya, ketika Anda sekalian meng akhiri bulan suci Ramadhan ini, kami ingin menyampaikan kepada Anda sekalian Ucapan Selamat kami, disertai dengan harapan akan kedamaian dan kebahagiaan bagi Anda sekalian. Melalui Ucapan Selamat ini pula kami ingin menyampaikan tema yang kiranya dapat menjadi bahan permenungan kita bersama: Umat Kristiani dan Umat Islam: Bersama Mengentaskan Kemiskinan," kata Jean-Louis Cardinal Tauran
Berkaitan dengan tema pesan Idul Fitri tahun ini, masalah manusia yang berada dalam situasi kemiskinan adalah sebuah topik yang, dalam pelbagai iman kepercayaan, justru berada di jantung perintah-perintah agama yang kita junjung tinggi.
Perhatian, belarasa dan bantuan yang kita semua, sebagai sesama saudara dan saudari dalam kemanusiaan, dapat memberikan kepada mereka yang miskin untuk membantu mereka mendapatkan tempat mereka yang sebenarnya di dalam tatanan masyar ak at yang ada, adalah sebuah bukti yang hidup dari Cinta kasih Allah yang Mahatinggi, sebab justru itulah yang menjadi kehendak -Nya, bahwa kita dipanggil-Nya untuk mengasihi dan membantu mereka sebagai sesama manusia tanpa pembedaan yang mengkotak-kotakkan.
Kita semua mengetahui, bahwa kemiskinan memiliki kekuatan untuk merendahkan martabat manusia dan menyebabkan penderitaan yang t ak -tertanggungkan. Tidak jarang hal itu menjadi penyebab keterasingan, kemarahan, bahkan kebencian dan hasrat untuk membalas dendam.
Hal itu dapat memancing tind ak an-tind ak an permusuhan dengan mempergun ak an segala macam cara yang mungkin, bahkan tidak tanggung-tanggung memberinya pembenaran diri melalui landasan-landasan keagamaan, atau dengan merampas kekayaan seseorang bersama dengan kedamaian dan rasa amannya, atas nama apa yang dianggapnya sebagai ?keadilan ilahi?.
Itulah sebabnya, mengapa apabila kita memperhadapkan gejala-gejala ekstremisme dan kekerasan, tidak boleh tidak, kita harus mengikutsertakan juga perihal penanganan kemiskinan dengan memajukan pengembangan manusia seutuhnya.
Dalam pidatonya pada kesempatan Hari Perdamaian Sedunia, pada 1 Januari 2009, Paus Benediktus XVI membedakan dua macam kemiskinan yakni kemiskinan yang harus diperangi dan kemiskinan yang harus dirangkul.
Kemiskinan yang harus diperangi ini diketahui oleh semua orang: misalnya kelaparan, tidak adanya air bersih, pelayanan kesehatan yang sangat terbatas, papan tempat tinggal yang kurang memadai, tatanan pend id ikan dan kebudayaan yang t ak memadai, tuna-aksara, belum lagi bentuk-bentuk baru kemiskinan "di dalam masyar ak at-masyar ak at yang kaya, di mana terdapat pula bukti-bukti masih adanya marginalisasi, seperti juga adanya kemiskinan afektif, moral dan spiritual?" (Pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia, 2009).
Adapun kemiskinan yang harus dirangkul adalah gaya h id up sederhana dan mendasar, yang menghindarkan pemborosan dan menghormati lingkungan serta kebaikan ciptaan. Kemiskinan ini dapat juga, sekurang-kurangnya pada saat-saat tertentu dalam satu tahun, mengambil bentuk berupa laku matiraga dan puasa. Ini adalah kemiskinan yang menjadi pilihan sadar kita dan yang memungkinkan kita untuk melewati batas diri sendiri, dan memperluas wawasan hati kita.
Sebagai orang beriman, kerinduan untuk menjalin kerja-sama untuk mencari cara yang tepat dan dapat bertahan lama untuk memecahkan masalah pengentasan kemiskinan, tentu juga harus disertai dengan refleksi terhadap masalah-masalah berat jaman kita sekarang ini dan, apabila mungkin, juga dengan saling berbagi keprihatinan yang sama untuk mencabut sampai ke akar- akarnya permasalahan itu.
Dalam pandangan ini, pembahasan tentang segi-segi kemiskinan yang terkait dengan gejala globalisasi dalam masyar ak at-masyar ak at kita dewasa ini, memiliki pula damp ak spiritual dan moral, karena kita semua turut mengambil-bagian dalam panggilan yang sama untuk membangun satu keluarga umat manusia, di mana semuanya, baik pribadi-pribadi perseorangan, maupun suku dan bangsa, masing-masing bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip persaudaraan dan rasa tanggungjawabnya.
Dengan mempelajari secara seksama gejala-gejala kemiskinan tersebut, kita bukan saja ak an dibawa sampai kepada asal-usul permasalahannya, yakni kurangnya rasa hormat kepada martabat koderati manusia, tetapi juga seharusnya mengundang kita untuk membentuk suatu sol id aritas global, misalnya melalui penerapan suatu "kode etik bersama" yang norma-normanya bukan saja memiliki kar ak ter konvensional, tetapi yang t id ak boleh t id ak harus juga ber ak ar pada hukum alam yang telah disuratkan oleh Sang Khalik sendiri di dalam hati nurani setiap orang.
Rupanya, di pelbagai tempat di dunia ini, kita sudah melewati jenjang toleransi dan memasuki era pertemuan bersama, mulai dengan pengalaman-pengalam an h id up yang kita hayati bersama dan dengan berbagi keprihatinan nyata yang sama pula. Ini merup ak an sebuah langkah maju yang penting.
Dalam membagikan kepada setiap orang kekayaan hid up doa kita, puasa kita dan saling cintakasih kita satu sama lain, t id ak mungkinkah hal ini semua akan semakin menjadi daya dorong bagi dialog dari orang-orang yang justru sedang berada dalam ziarah menuju kepada Allah?
Kaum miskin bertanya kepada kita, menantang kita, tetapi di atas semuanya itu mereka mengundang kita untuk bekerja-sama untuk urusan masalah yang mulia ini, yakni mengentaskan kemiskinan.
"Ucapan Selamat Idul Fitri yang dikeluarkan oleh Dewan Kepausan untuk Dialog Antar-Umat Beragama seperti ini, telah menjadi tradisi yang kita pupuk bersama dan yang senantiasa menjadi kerinduan yang dinantikan setiap tahunnya. Dan ini sungguh-sungguh telah menjadi sumber kegembiraan kita bersama," tulis Dewan Kepausan itu.
Dari tahun ke tahun, di banyak negara, hal ini telah menjadi suatu kesempatan untuk perjumpaan dari hati ke hati antara bany ak Umat Kristiani dan Umat Islam. T id ak jarang pula perjumpaan itu menyapa suatu masalah yang menjadi keprihatinan bersama, dan dengan demikian membuka suatu jalan yang kondusif ke arah pergaulan yang ditandai oleh rasa saling percaya dan keterbukaan.
"Bukankah semua unsur ini secara langsung dapat dipahami sebagai tanda-tanda persaudaraan di antara kita, yang harus kita syukuri di hadapan Allah?" kata Dewan Kepausan untuk Dialog Antar-Umat Beragama itu. (*)
Umat Katolik Papua Terima Amanat Idul Fitri Vatikan
16 September 2009 04:58 WIB
Paus Benediktus XVI ( ANTARA/REUTERS/Heinz-Peter Bader)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009
Tags: