Jakarta (ANTARA) - Ekonom senior Faisal Basri mendorong pemerintah untuk menyusun stimulus lanjutan yang lebih fokus diarahkan untuk mengatasi dampak pandemi COVID-19 karena wabah ini menimbulkan krisis multidimensi sehingga perlu rencana jangka panjang.

“Perlu dipikirkan untuk tahun depan seperti apa, daya dukung anggarannya dan yang paling penting, fokus yang terdampak saja,” katanya dalam webinar Indef terkait efektivitas Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di Jakarta, Rabu.

Ekonom Universitas Indonesia ini menilai program stimulus yang diambil pemerintah saat ini masih bersifat jangka pendek dengan rentang waktu tiga hingga enam bulan.

Baca juga: Anggota DPR usulkan stimulus bagi UMKM diperbesar

Indikatornya, lanjut dia, karena upaya pemulihan sesuai dengan asumsi pemerintah yakni kurva V yang berarti ekonomi diprediksi beranjak pulih setelah merosot sebagai dampak COVID-19.

Meski begitu, ia menyoroti alokasi anggaran dalam program PEN sebesar Rp589,65 triliun, tidak termasuk Rp87,55 triliun untuk kesehatan, belum disertai disiplin fiskal.

Alasannya, lanjut dia, dalam APBN 2020 dibebankan juga pembayaran piutang pemerintah kepada sejumlah BUMN yang bertahun-tahun tidak dibayar, di antaranya PLN dan Pertamina dalam bentuk kompensasi.

“Sebetulnya ini tidak ada hubungannya dengan COVID. Ada atau tidak ada COVID, utang negara kepada para pihak yang semuanya BUMN itu tidak dibayar tepat waktu,” katanya.

Baca juga: Wapres: Pemerintah siapkan skema pemulihan ekonomi, keuangan syariah

Dalam outlook belanja negara untuk revisi Perpres 54 tahun 2020 tentang Perubahan Postur APBN 2020, pemerintah mengalokasikan pembayaran kompensasi kepada Pertamina sebesar Rp45 triliun.

Tahun ini, rencananya akan dibayar 50 persen dan diangsur hingga tahun 2022Sedangkan untuk kompensasi bagi PLN, pemerintah akan membayar penuh sebesar Rp45,4 triliun tahun ini.

Pembayaran kompensasi itu terjadi atas selisih tarif listrik dan kebijakan harga jual eceran bahan bakar minyak (BBM).

“Harusnya jika disiplin fiskal kuat, setiap kebijakan pemerintah yang menyebabkan ongkos lebih besar dari harga itu masuknya subsidi energi, non energi juga,” katanya.

Baca juga: Kemenko Perekonomian nilai ada sinyal pemulihan ekonomi RI

Tak hanya itu, ia juga menyoroti perlindungan sosial khususnya yang dialokasikan untuk program keluarga harapan (PKH) yang memang sudah dianggarkan rutin dalam APBN.

“Dukungan konsumsi ini kan tidak semua COVID, ada atau tidak ada COVID, PKH juga ada. Penambahan PKH sudah dianggarkan dalam RPJMN 2020-2024,” katanya.