Jakarta (ANTARA) - Lembaga kajian perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menilai pajak digital sangat potensial untuk membantu menambal defisit anggaran yang meningkat karena pandemi, namun penggaliannya tetap perlu dilakukan secara hati-hati.
Menurut Manajer Riset CITA Fajry Akbar, kooperasi antar-negara perlu ditempuh demi menghindari perselisihan antar negara yang berujung pada aksi perang dagang.
"Kalau perang dagang sampai terjadi, pemulihan ekonomi justru akan terhambat. Penerimaan pajak dari sektor lain pun pada akhirnya akan turut tersendat. Atas pertimbangan itu, Pemerintah Indonesia sebaiknya mengambil langkah multilateral," ujar Fajry dalam seminar virtual di Jakarta, Rabu.
Saat ini, sudah ada tiga instrumen pajak sektor digital yang tertuang dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Sistem Keuangan terkait COVID-19 antara lain PPN atas transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), PPh Badan melalui pendefinisian ulang Bentuk Usaha Tetap/BUT, dan Pajak Transaksi Elektronik (PTE) yang merupakan pajak tambahan apabila PPh Badan melalui pendefinisian ulang BUT tidak dapat dikenakan pada perusahaan digital karena adanya Tax Treaty.
Dua instrumen terakhir tergolong sebagai langkah unilateral karena diberlakukan secara sepihak oleh suatu negara, dalam hal ini Indonesia, untuk mengenakan pajak berdasarkan kriteria tertentu.
Untuk menempuh jalan multilateral, Pemerintah Indonesia harus melakukan komunikasi dan koordinasi dengan seluruh negara asal perusahaan digital, termasuk salah satunya Amerika Serikat.
Dalam hal ini, pajak digital bukan hanya isu antara Pemerintah dengan Bisnis (Government to Business), melainkan juga isu Pemerintah dengan Pemerintah (Government to Government).
Dengan demikian pajak digital juga bukan hanya soal penerimaan, melainkan juga terkait erat dengan dampak-dampaknya, misalnya perdagangan internasional.
"Sedapat mungkin, pemerintah hendaknya menghindari langkah unilateral. Dalam kenyataan, langkah unilateral bukanlah langkah yang bijak untuk mencapai keadilan. Biasanya, langkah unilateral dilakukan demi tujuan sempit meningkatkan penerimaan saja, yang pada gilirannya berpotensi menimbulkan berbagai risiko," ujar Fajry.
Bagi Indonesia, keuntungannya yaitu penerimaan pajak, namun tak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan. Jika sampai terjadi perang dagang antara Indonesia dengan Amerika Serikat, misalnya, sektor manufaktur Indonesia akan sangat terpukul, mengingat Amerika Serikat adalah pasar terbesar dari hasil manufaktur Indonesia.
Sementara itu, opsi multilateral optimis akan keluar paling lambat tahun 2021. Karena itu, sesungguhnya tak ada cukup alasan bagi Indonesia untuk melanjutkan langkah unilateral dalam bentuk Pajak Transaksi Elektronik (PTE) dan redefinisi BUT yang terlalu dini.
Fajry menuturkan, sedikit banyak, konsensus global sudah mulai terbentuk. Beberapa opsi yang pernah diajukan semakin mengerucut menjadi "unified pillar one" dan "unified pillar two". Proposal yang diajukan pun telah membahas hal teknis.
Di akhir 2020, konsensus global diharapkan akan semakin bulat. Sayangnya, pandemi COVID-19 membuat seluruh proses terhenti. Harapannya, konsensus global bisa segera tercapai setelah pandemi COVID-19.
Fajry menuturkan, yang menjadi isu pajak digital sesungguhnya adalah digitalisasi ekonomi, bukan ekonomi digital. Digitalisasi tak terbatas pada perusahaan digital seperti Facebook, Netflix, Spotify, dan sejenisnya. Digitalisasi terjadi pada semua sektor, tak terkecuali sektor manufaktur.
Ke depan, bukan hanya perusahaan digital yang tak membutuhkan kehadiran fisik. Perusahaan konvensional seperti otomotif pun bisa saja tak lagi membutuhkan kehadiran fisik.
"Karena itu, jangan sampai solusi atas masalah pajak digital ini bersifat diskriminatif, menyasar perusahaan digital tertentu saja, tanpa mempertimbangkan proses digitalisasi yang kini tengah terjadi pada hampir semua sektor. Hal ini pun sesuai dengan arah dari OECD yang menolak untuk melakukan “ring fencing”," katanya.
Bagaimanapun, lanjut Fajry, prinsip utama adalah menciptakan keadilan, bukan optimalisasi penerimaan. Fokus pada penerimaan hanya akan menciptakan dikotomi antara negara produsen dan negara konsumen. Akibatnya, konsensus akan sulit tercapai.
Andai kata Indonesia mengambil langkah optimalisasi penerimaan pun, dinilai belum tentu akan menguntungkan di kemudian hari.
"Memang, kini Indonesia cenderung menjadi negara konsumen jasa digital. Namun, melihat potensi yang ada, di masa depan Indonesia dapat menjadi negara produsen jasa digital. Jangan sampai kebijakan yang diambil hari ini menjadi bumerang di masa mendatang," kata Fajry.
Ia menambahkan, kini isu pajak digital bukan lagi sekadar bagaimana mengatasi penghindaran pajak. Isu pemajakan atas digitalisasi ekonomi telah menjadi ajang tarik-menarik antara negara konsumen dengan negara asal perusahan digital.
Diskusi pajak digital harus menjawab pertanyaan paling fundamental yaitu mengapa suatu yurisdiksi berhak untuk memajaki suatu profit yang dihasilkan oleh perusahaan digital. Bersama-sama, perlu diupayakan "evidence-based solution" untuk menjawab masalah itu.
Fajry mengatakan, solusi atas problem pajak digital dinilai tak perlu mengubah fundamental perpajakan internasional, yang selama ini terbukti sebagai sistem yang kokoh dan mampu bertahan dalam jangka panjang.
Mengubah fundamental perpajakan internasional dinilai mengandung terlalu banyak risiko, terutama dampaknya terhadap perdagangan internasional maupun investasi multinasional. Dengan menggunakan sistem yang ada, terdapat beberapa opsi yang dapat digunakan.
Menurut Fajry, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat menjadi solusi sementara. Ia pun mengapresiasi langkah pemerintah untuk mengejar penerimaan PPN terlebih dahulu.
"Pemungutan PPN atas impor jasa digital adalah langkah tepat, baik dari sisi penerimaan maupun keadilan. Kebijakan ini tidak akan menimbulkan dispute antar-negara, kecuali ada permasalahan dalam implementasinya," ujar Fajry.
Ia juga mendorong Pemerintah Indonesia terlibat aktif dalam diskusi pajak digital di tingkat global dan berharap Indonesia menjadi contoh bagi negara lain, terutama sesama negara berkembang, yang mengutamakan keadilan alam mengenakan pajak digital.
"Kami berharap Indonesia dapat menjadi negara pionir yang membahas pajak digital tanpa membuat dikotomi antara negara produsen dan negara konsumen," katanya.
Baca juga: Produk digital dari luar negeri akan dikenakan PPN mulai 1 Juli 2020
Baca juga: Legislator ingatkan pemerintah hati-hati terapkan pajak digital
CITA: Pajak digital potensial tapi penggaliannya perlu hati-hati
10 Juni 2020 20:07 WIB
Ilustrasi. Wajib pajak memanfaatkan fasilitas Samsat Keliling Tanjungpinang untuk membayar pajak kendaraan tahunan. ANTARA/Nikolas Panama
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020
Tags: