Jakarta (ANTARA) - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan sebaiknya pemilihan kepala daerah serentak tidak dipaksakan berlangsung pada 9 Desember 2020 mengingat perkembangan COVID-19 dan kondisi keuangan daerah.

Manajer Program Perludem Fadli Ramadhanil di Jakarta, Selasa, menyebutkan angka positif COVID-19 terus meningkat, sementara tahapan pilkada yang akan kembali digelar pada tanggal 15 Juni 2020 ini langsung menyedot banyak interaksi tatap muka.

"Permasalahan biaya pilkada belum selesai, juga aturan-aturan terkait, padahal beberapa hari lagi tahapan akan dimulai, sedangkan sejak awal itu sudah ada interaksi banyak orang, bagaimana dengan protokol kesehatannya," kata Fadli Ramadhanil.

Menurut dia, dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, seharusnya bisa menjadi dasar bagi penyelenggara pemilu untuk menunda pilkada pada tahun 2021.

Fadli mengatakan bahwa tidak seluruh daerah memiliki ruang fiskal yang cukup untuk menggelar pilkada menyesuaikan dengan kondisi pandemi.

Jika mengubah postur APBD, menurut dia, tentunya harus melalui mekanisme pembahasan pada APBD perubahan.

Baca juga: Pilkada Serentak ujian konsistensi berdemokrasi ditengah COVID-19

Baca juga: Tahapan pilkada gunakan media daring cegah penularan COVID-19

Baca juga: Bawaslu Kalsel ingatkan petahana tak politisasi bansos COVID-19


"Begitu juga kalau ada bantuan dari APBN, tentunya juga melalui mekanisme yang sama, dan biasanya pembahasan APBD perubahan itu pada pertengahan atau akhir tahun, sedangkan tahapan dimulai Juni," katanya.

Saat ini, kata Fadli, sebaiknya pemerintah dan penyelenggara pemilu fokus menyiapkan pada dasar hukum, mekanisme, dan anggaran pilkada sesuai dengan kondisi pandemi. Setelah semuanya benar-benar rampung, barulah tahapan dimulai.

Berkaca atau meniru penyelenggaraan pemilu yang sukses di tengah pandemi, seperti Korea Selatan, untuk diterapkan pada pilkada, menurut dia juga kurang tepat sebab negara tersebut dari sejak lama sudah memiliki sistem pemilu yang siap dengan kondisi tak terduga seperti pandemi ini.

"Mereka sudah siap, pemilihannya sudah mengakomodasi pemilih bisa memberikan hak suaranya sebelum hari pemungutan dan lainnya. Kita di sini kerangka hukum untuk itu belum ada, dan anggaran di sana empat kali jauh lebih besar, jadi tidak bisa dibandingkan," ucapnya.

Jika tetap dipaksakan pemilu diselenggarakan dengan konsisi saat ini, Fadli khawatir kemungkinan kacaunya pilkada bisa terjadi. Begitu juga dengan potensi penyelenggara pemilu yang terinfeksi COVID-19 akibat dari aktivitas pilkada.

"Tentu pada tahapan pilkada bisa banyak sekali menemui persoalan kalau disiapkan dengan kerangka hukum yang kurang cermat dan pilkadanya disiapkan (secara mendesak) karena mulai pada tanggal 15 Juni," ujarnya.