Dinkes Makassar: Penolakan rapid test bukan di wilayah episentrum
8 Juni 2020 19:48 WIB
Kepala Dinas Kesehatan Kota Makassar, Naisyah Tun Azikin saat menujukkan grafik data perkembangan COVID-19 di posko Induk beberapa waktu lalu di Makassar, Sulawesi Selatan. ANTARA/Darwin Fatir.
Makassar (ANTARA) - Pemerintah Kota Makassar melalui Dinas Kesehatan meluruskan bahwa penolakan rapid test oleh warga, bukan di kecamatan yang ditetapkan sebagai daerah episentrum Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).
"Kecamatan Bontoala dan Makassar yang menolak rapid test itu, tidak masuk pada lima kecamatan episentrum yang ditetapkan untuk di-tracking kemudian dilakukan rapid test," ungkap Kadis Kesehatan Naisyah Tun Azikin di Rumah Jabatan Wali Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Senin.
Ia menyatakan, penolakan tersebut justru pada kecamatan yang tidak ditetapkan sebagai episentrum. Selain itu, sebenarnya tes cepat (rapid test) massal yang dilakukan pemerintah kota sudah selesai. Sebab, hanya berlangsung dua hari yakni pada Jumat dan Sabtu lalu.
Lima kecamatan yang masuk wilayah episentrum atau zona merah berdasarkan data Dinas Kesehatan Makassar hari ini secara akumulatif yakni Kecamatan Tamalate, Rappocini, Panakukang, Biringkanaya, dan Tallo.
Baca juga: Wabup Flores Timur: Penolakan rapid test akan ditindak tegas
Baca juga: Polisi diminta tangkap provokator penolakan "rapid test" COVID-19
Naisyah menjelaskan tes cepat tahap awal sebelumnya dilakukan pada lima kecamatan dan tahap kedua di enam kecamatan. Penetapan episentrum ini berdasarkan jumlah kasus positif yang tertinggi terjadi di wilayah itu.
Bahkan, tidak semua kelurahan atau RT/RW dilakukan rapid test. Tetapi hanya pada titik-titik yang ditemukan ada kasus positif hasil konfirmasi laboratorium Polymerase Chain Reaction (PCR).
“Dimana ada kasus positif, berarti di situ ada virus. Kita akan melakukan tes cepat, menyisir di sekitarnya. Mulai dari se-rumahnya, kemudian kontak-kontak yang ditemui sehingga kita bisa melakukan deteksi secara dini," ungkap dia.
Oleh karena itu, pihaknya akan terus memaksimalkan pihak puskesmas setiap wilayah untuk melakukan edukasi kepada masyarakat. Sebab mungkin hal ini dianggap masih kurang sehingga masyarakat belum paham sekaitan bahaya COVID-19 dan penularannya.
Saat ini, pemerintah secara rutin memberi informasi berupa edukasi ke masyarakat menggunakan mobil memberi tahu dua kali setiap hari, yakni pukul 09.00 WITA dan pukul 15.00 WITA.
Selain itu, Puskesmas diminta terus berkoordinasi dengan para Camat termasuk pelibatan RT/RW guna memberi pemahaman agar masyarakat menyadari pentingnya rapid test, tujuannya untuk melindungi warga yang belum terjangkit dari orang-orang terkonfirmasi positif.
Pihaknya membantah adanya isu yang menyatakan rapid test dilakukan sebagai lahan bisnis. Sebab, yang digunakan dari pemerintah provinsi sebanyak 20.000 sumbernya murni dari sumbangan pihak swasta.
"Tidak ada yang dibeli. Dimana bisnisnya?Tenaga kesehatan kita yang turun melakukan tes juga tidak ada yang dibayar sama sekali, karena sudah tupoksi mereka sebagai petugas laboratorium yang ada di Puskesmas," ujarnya meluruskan.
Mengenai dengan biaya yang dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah pembelian murni, dan tidak ada biaya pemeriksaan.
Selain memberikan edukasi dilakukan secara masif, kata dia, juga diperlukan melibatkan tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, untuk bersinergi memberi pengertian kepada warga agar tidak ada ada penambahan kasus baru.*
Baca juga: Tes cepat COVID-19 di Stadion GBLA batal karena penolakan warga
"Kecamatan Bontoala dan Makassar yang menolak rapid test itu, tidak masuk pada lima kecamatan episentrum yang ditetapkan untuk di-tracking kemudian dilakukan rapid test," ungkap Kadis Kesehatan Naisyah Tun Azikin di Rumah Jabatan Wali Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Senin.
Ia menyatakan, penolakan tersebut justru pada kecamatan yang tidak ditetapkan sebagai episentrum. Selain itu, sebenarnya tes cepat (rapid test) massal yang dilakukan pemerintah kota sudah selesai. Sebab, hanya berlangsung dua hari yakni pada Jumat dan Sabtu lalu.
Lima kecamatan yang masuk wilayah episentrum atau zona merah berdasarkan data Dinas Kesehatan Makassar hari ini secara akumulatif yakni Kecamatan Tamalate, Rappocini, Panakukang, Biringkanaya, dan Tallo.
Baca juga: Wabup Flores Timur: Penolakan rapid test akan ditindak tegas
Baca juga: Polisi diminta tangkap provokator penolakan "rapid test" COVID-19
Naisyah menjelaskan tes cepat tahap awal sebelumnya dilakukan pada lima kecamatan dan tahap kedua di enam kecamatan. Penetapan episentrum ini berdasarkan jumlah kasus positif yang tertinggi terjadi di wilayah itu.
Bahkan, tidak semua kelurahan atau RT/RW dilakukan rapid test. Tetapi hanya pada titik-titik yang ditemukan ada kasus positif hasil konfirmasi laboratorium Polymerase Chain Reaction (PCR).
“Dimana ada kasus positif, berarti di situ ada virus. Kita akan melakukan tes cepat, menyisir di sekitarnya. Mulai dari se-rumahnya, kemudian kontak-kontak yang ditemui sehingga kita bisa melakukan deteksi secara dini," ungkap dia.
Oleh karena itu, pihaknya akan terus memaksimalkan pihak puskesmas setiap wilayah untuk melakukan edukasi kepada masyarakat. Sebab mungkin hal ini dianggap masih kurang sehingga masyarakat belum paham sekaitan bahaya COVID-19 dan penularannya.
Saat ini, pemerintah secara rutin memberi informasi berupa edukasi ke masyarakat menggunakan mobil memberi tahu dua kali setiap hari, yakni pukul 09.00 WITA dan pukul 15.00 WITA.
Selain itu, Puskesmas diminta terus berkoordinasi dengan para Camat termasuk pelibatan RT/RW guna memberi pemahaman agar masyarakat menyadari pentingnya rapid test, tujuannya untuk melindungi warga yang belum terjangkit dari orang-orang terkonfirmasi positif.
Pihaknya membantah adanya isu yang menyatakan rapid test dilakukan sebagai lahan bisnis. Sebab, yang digunakan dari pemerintah provinsi sebanyak 20.000 sumbernya murni dari sumbangan pihak swasta.
"Tidak ada yang dibeli. Dimana bisnisnya?Tenaga kesehatan kita yang turun melakukan tes juga tidak ada yang dibayar sama sekali, karena sudah tupoksi mereka sebagai petugas laboratorium yang ada di Puskesmas," ujarnya meluruskan.
Mengenai dengan biaya yang dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah pembelian murni, dan tidak ada biaya pemeriksaan.
Selain memberikan edukasi dilakukan secara masif, kata dia, juga diperlukan melibatkan tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, untuk bersinergi memberi pengertian kepada warga agar tidak ada ada penambahan kasus baru.*
Baca juga: Tes cepat COVID-19 di Stadion GBLA batal karena penolakan warga
Pewarta: M Darwin Fatir
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020
Tags: