"Pertama, mereka menghadapi krisis kesehatan - seringkali mereka tinggal di kondisi yang padat penghuni sehingga jaga jarak jadi kemewahan tersendiri - dan hak mendasar seperti layanan kesehatan, air bersih, sanitasi, dan nutrisi yang cukup seringkali sulit didapatkan," kata Guterres lewat pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Sepertiga dari jutaan pengungsi, imigran, dan mereka yang terusir paksa dari tanah airnya , saat ini tersebar di 10 negara yang paling terdampak parah COVID-19.
Guterres menerangkan kelompok itu juga mengalami krisis keuangan, mengingat banyak dari mereka yang bekerja di sektor informal dan tidak memiliki jaminan sosial.
Baca juga: Sekjen PBB sarankan menteri, diplomat lewatkan pertemuan akibat corona
Baca juga: Sekjen PBB nyatakan dukungan bagi WHO di tengah pandemi COVID-19
Terakhir, ia menyebut kelompok itu juga menghadapi krisis perlindungan.
"Lebih dari 150 negara membatasi akses masuk di perbatasan untuk menekan penyebaran virus. Setidaknya, 99 negara tidak membuat pengecualian untuk para pencari suaka yang terancam hidupnya," kata Guterres .
Sekjen PBB itu menegaskan perempuan dan anak-anak perempuan menghadapi risiko lebih tinggi dari pihak lain, karena mereka terancam menjadi korban kekerasan berbasis gender, pelecehan, serta eksploitasi atau perbudakan seksual.
#COVID19 continues to devastate the lives of the most vulnerable - including refugees & internally displaced people.
Here are ways we can reduce the impact of the virus among people on the move & recover better for the benefit of all: https://t.co/vCv1ZQTCBF pic.twitter.com/VekBQz1Hmb
— António Guterres (@antonioguterres) June 3, 2020
Dari ketiga ancaman itu, Guterres mengajak negara-negara di dunia untuk memikirkan kembali kebijakan yang telah mereka terapkan beserta dampaknya bagi para pengungsi dan imigran.
Oleh karena itu, ia meminta negara-negara untuk memberlakukan kebijakan yang inklusif atau merangkul semua pihak.
"Layanan kesehatan dan penanggulangan sosial ekonomi yang inklusif dapat membantu negara-negara menekan risiko penyebaran virus, memulihkan kembali perekonomian, sekaligus mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)," ujar Guterres.
Ia mencontohkan para pengungsi jika diberi kesempatan juga dapat berkontribusi terhadap masyarakat, khususnya dalam upaya melawan COVID-19. Dalam kesempatan itu, ia mengenalkan sosok mantan pengungsi dari Suriah, seorang ahli jantung, dr Heval Kelli, yang saat ini bekerja di garda terdepan melawan pandemi COVID-19 di Amerika Serikat.
Dr. Heval Kelli is a former Syrian refugee, now part of the #COVID19 response in the community that welcomed him years ago.
Thank you Dr. Kelli for sharing your story with me. You're living proof of the power of inclusion- and how refugees & migrants can be part of the solution. pic.twitter.com/jy7jw24lUt
— António Guterres (@antonioguterres) June 3, 2020
"Para pengungsi dan imigran merupakan bagian dari solusi," kata dia.
Terakhir Guterres mengingatkan bahwa kebijakan penanggulangan COVID-19 wajib menjunjung tinggi martabat dan kemanusiaan. Menurut dia, adanya pembatasan perjalanan dan penutupan perbatasan harus diterapkan dengan menghormati hak asasi manusia serta prinsip perlindungan terhadap pengungsi.
"Saya bersyukur masih ada beberapa negara berkembang yang membuka perbatasan mereka dan bersedia menampung para pengungsi dan imigran, meskipun negara-negara ini juga menghadapi masalah sosial, ekonomi, dan saat ini krisis kesehatan," sebut Guterres.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) per hari ini (4/6) menunjukkan 6.397.294 orang telah terjangkit virus. Dari angka itu, 383.872 di antaranya meninggal dunia.
COVID-19 pertama kali mewabah di Kota Wuhan, China, pada akhir tahun lalu dan sampai saat ini, penyakit itu telah menyerang 216 negara dan wilayah.
Baca juga: PBB tegaskan kembali soal solidaritas negara dunia hadapi pandemi
Baca juga: Guterres: bukan waktunya kurangi sumber daya WHO untuk perangi corona