Jakarta (ANTARA News) - Kasus dana talangan Bank Century yang semula "hanya" merupakan kasus finansial tiba-tiba berubah menjadi "kasus politik" setelah Wakil Presiden Mohammad Jusuf Kalla mengritik bakal penggantinya.
Selama beberapa hari terakhir ini, masyarakat mendapat informasi mengenai kemelut Century dari aspek teknik finansial, misalnya mengapa jumlah dana talangan itu tiba-tiba membengkak .
Namun kemudian Jusuf Kalla yang akan turun dari kursi wakil presiden pada 20 Oktober nanti mengeluarkan pernyataan yang bersifat "menyerang" penggantinya, mantan Menko Perekonomian Boediono yang juga mantan gubernur Bank Indonesia.
Wapres mengatakan, kasus Century bukan disebabkan oleh krisis ekonomi, tetapi kasus kriminal yang dibiarkan berlarut-larut sehingga merugikan keuangan negara.
Masalah Bank Century itu merupakan kasus "perampokan", kata Jusuf Kalla, karena dilakukan oleh pemegang saham dan anggota direksi dengan cara mengambil uang nasabah, termasuk menerbitkan obligasi bodong.
Menurut dia, penyelesaiannya bukan dengan cara penyuntikkan modal tetapi harus melaporkan kepada polisi dan menangkap manajemen bank tersebut.
"Saya waktu itu minta Gubernur BI melaporkan ke Polri untuk menangkap pemegang saham tersebut tetapi BI 'tidak berani' karena mengaku tidak ada dasar hukumnya," kata Jusuf Kalla.
Calon Wapres dan mantan Gubernur BI Boediono sampai saat ini belum memberikan komentarnya terhadap tudingan yang dilakukan Wapres Jusuf Kalla.
Boediono kemungkinan masih berpikir untuk menanggapi pernyataan Wapres Jusuf Kalla sementara waktu.
Tak lapor
Sementara itu Menkeu Sri Mulyani menyatakan, BI sama sekali tidak melaporkan adanya kasus manipulasi itu.
Manipulasi di Century diketahui setelah Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengucurkan dana talangan yang mencapai Rp6,76 triliun dari perkiraan semula Rp1,3 triliun.
BI tidak pernah melaporkan adanya manipulasi di bank milik Robert Tantular itu, tegasnya.
Sri Mulyani meminta sejumlah pihak berwenang melakukan investigasi kasus Bank Century agar terungkap dan kisruhnya bisa berakhir.
"Silahkan segera dilakukan audit termasuk investigasi supaya tak ada kekisruhan di masyarakat, karena bisa menimbulkan ekses tak baik bagi industri perbankan secara keseluruhan," katanya.
Ia menyebutkan, jika kekisruhan tidak segera berakhir, maka bukan tidak mungkin upaya penyelamatan atau menghidupkan Bank Century akan sia-sia.
"Nanti mau diaudit oleh BPK, silahkan diaudit supaya dapat dilihat apakah semuanya sesuai dengan "good governance" atau tata kelola yang baik atau peraturan perundangan atau tidak," katanya.
Ia mempersilahkan BPK melakukan audit investigasi jika memang diperlukan untuk mendalami kemungkinan adanya `penyelewengan dana di bank itu.
"Nanti kita tunggu hasil audit dari BPK. Ada baiknya dilihat dari semua aspek agar lebih matang," katanya.
Menurut dia, pemerintah juga berkeinginan agar semua "clear", "akuntabel", dan ada kepatuhan terhadap aturan perundangan, dan prosedur yang ada.
"Jadi semua dapat dilihat terbuka bahwa suatu penanganan krisis pada satu waktu tertentu dengan penilaian tertentu, informasi tertentu, dapat dilihat apakah ada yang salah dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan, supaya tak ada kekisruhan di masyarakat," katanya.
Ia menyebutkan, pihaknya juga menunggu hasil investigasi dari pihak kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan PPATK.
"Pengembalian aset juga dilakukan oleh Polri, Kejaksaan, Menhukham, dan PPATK untuk menelusuri jika ada aset yang dibawa kabur keluar negeri," katanya.
Kejahatan
Anggota DPR Dradjad Wibowo dalam hubungan ini mengatakan, persoalan keuangan yang dihadapi Bank Century tidak hanya dipicu krisis tetapi juga ada unsur kejahatan perbankan di dalamnya.
Karena itu suatu kejahatan perbankan tidak mengharuskan negara ikut menalangi kerugian yang diderita bank tersebut, katanya.
Untuk itu, menurut Dradjad Wibowo, jika ada bank nakal (kolaps) karena dikelola secara sembrono maka lembaga itu tidak perlu diselamatkan dengan alasan apa pun.
Apalagi bank itu terbukti dimanfaatkan oleh pemegang saham secara tidak wajar dan terindikasi penipuan.
Karena penyelamatan itu hanya akan melukai rasa keadilan masyarakat, ujarnya.
Dradjad Wibowo mengatakan, kasus ini merupakan kesalahan fatal yang telah dilakukan BI dalam menangani Bank Century, karena BI tidak tegas mencabut izin usahanya sejak beberapa tahun lalu dan diambil langkah penyelamatan saat bank itu kolaps.
Kesalahan BI juga bukanlah terletak pada lemahnya pengawasan, tetapi lebih pada tiadanya keberanian untuk menghukum atau mengambil tindakan tegas, ucapnya.
Bantah
Namun di lain pihak, Deputi Gubernur BI Budi Rochadi membantah tudingan bahwa BI tidak melakukan pengawasan terhadap kasus Bank Century yang membuat bank itu harus diselamatkan pemerintah.
"Kami yang melaporkan adanya tindak pidana di Century kepada polisi pada 25 November 2008," katanya.
Laporan itu, menurut dia berisi tindak pidana yang dilakukan tiga pemegang saham Century antara lain Robert Tantular. Pada 19 Maret 2009 BI juga kembali melaporkan tindak pidana itu kepada polisi.
Ini adalah hasil pengawasan. Inisiatif BI untuk melaporkan ke polisi, tegasnya.
Masalah Century itu bermula dari ketidakberesan Bank CIC (bersama Danpac dan Bank Pikko merger menjadi Bank Century pada 2004) dengan indikasi adanya surat-surat berharga (SSB) valas sekitar Rp2 triliun yang tidak berperingkat berbunga rendah dan sulit dijual.
SSB valas sebenarnya tidak boleh dibeli bank, keberadaannya hanya untuk menyelamatkan neraca bank yang sudah kolaps.
Kandidat Doktor Bidang Perbankan, & Dekan Fakultas Hukum USAID, Laksanto Utomo dalam kasus ini mengatakan, faktor utama kasus ini terjadi disebabkan tidak berjalannya standar operasional prosedur (SOP).
Semua aktifitas ditahan menunggu klarifikasi pengelolaan bank dan prosedur, ujarnya.(*)
Bank Century, dari Kasus Moneter ke "Ranah Politik"
3 September 2009 02:27 WIB
(ANTARA)
Oleh oleh Cecep Syaifuddin
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009
Tags: