Dili, Timor Timur (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri, Hassan Wirajuda, dalam peringatan 10 Tahun Referendum Timor Timur, mempertegas kesepakatan kedua negara untuk tidak membongkar lagi masalah lama antara 1975 hingga 1999.

"Saya senang bisa hadir dalam acara ini peringatan 10 Tahun Jajak Pendapat kali ini. Pertama kali, harap diingat bahwa referendum itu terjadi berkat perubahan di Indonesia, dimungkinkan di bawah pemerintahan Presiden Habibie pada 1999," katanya kepada ANTARA, di Istana Kepresidenan Timor Timur, di Dili, Timor Timur, Minggu siang.

Dalam perkembangan hubungan baik kedua negara, Indonesia dan Timor Timur sepakat tidak membongkar lagi kasus-kasus lama terkait HAM antara 1975 hingga 1999.

"Kita berdua mendukung karena itulah kesepakatan kita. Perdana Menteri Gusmao tadi membisiki saya usulan Horta, pemerintah Indonesia bisa membantu pengembalian jenasah Nicolao Lobato. Saya akan laporkan kepada pemerintah kami apa yang bisa dilakukan," katanya.

Wirajuda hadir di Istana Kepresidenan Timor Timur itu didampingi Direktur Jenderal Kawasan Asia Pasifik dan Afrika Departemen Luar Negeri, Teuku Muhammad Hamzah, Direktur Jenderal Multilreral Departemen Luar Negeri, Rezlan I Djenie, dan Juru Bicara Departemen Luar Negeri, Teuku Faizasyah.

Mereka datang memakai pesawat jet kecil khusus Kepolisian Indonesia yang mendarat di Bandar Udara Internasional Presiden Nicolau Lobato, Dili, pada pukul 10.05 waktu setempat.

Upacara kenegaraan peringatan 10 Tahun Referendum itu dimulai sekitar 20 menit sebelum pesawat terbang jet itu mendarat, dari jadual semula yang ditetapkan Sekretariat Negara Timor Timur pada pukul 09.00 waktu setempat.

Keterlambatan rombongan Wirajuda yang disambut koleganya, Menteri Luar Negeri Timor Timur, Zacharias A da Costa, dan Duta Besar Indonesia untuk Timor Timur, Eddy Setiabudhi, itu disebabkan satu "ganjalan" soal penahanan seorang WNI warga Kecamatan Kobalima Timur, Kabupaten Belu, NTT, Maternus Bere (53), yang ditahan di Penjara Bekora, Dili, sejak dua pekan lalu.

Bere, yang adalah Sekretaris Kecamatan Kobalima Timur, itu ditahan atas "tuduhan" oleh pihak Unit Kejahatan Serius Kepolisian PBB di Dili menjadi salah satu pelaku kekerasan terhadap kemanusiaan segera setelah jajak pendapat di Timor Timur dilakukan pada 30 Agustus 1999, yang berujung pada kemerdekaan (bekas) Provinsi Timor Timur.

Penahanan Bere oleh Unit Kejahanan Serius Kepolisian PBB di Dili itu sempat menjadi isu penting di antara kedua pemerintahan, antara Indonesia dan Timor Timur, karena hasil Rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Timur yang telah diserahkan kepada kedua kepala negara dan diumumkan kepada publik itu, sepakat untuk tidak lagi mengangkat masalah masa lalu.

Juga disepakati untuk tidak melibatkan negara ketiga atau pihak internasional jika ada masalah di antara kedua negara.

Akhirnya, setelah serangkaian upaya diplomatik dari Jakarta dan Kedutaan Besar RI di Dili dilaksanakan, Bere bisa dikembalikan kepada pihak KBRI di Dili. Wirajuda sendiri, dalam kunjungan selama empat jamnya di Dili itu, sempat berbincang secara langsung dengan Bere, yang didampingi seorang anaknya di Dili.

Pemerintahan Timor Timur di bawah Perdana Menteri Xanana Gusmao melalui Menteri Luar Negeri Timor Timur, Zacharias A da Costa, sebelumnya telah memberi komitmen nyata tentang upaya pengembalian Bere kepada pihak KBRI di Dili itu.

Terkait dengan kehadirannya mewakili Presiden Susilo B Yudhoyono, Wirajuda menyatakan, hasil jajak pendapat di Timor Timur pada 1999, merupakan buah dari reformasi di Indonesia. Sebagaimana negara Indonesia mengakui Timor Timur yang merdeka, MPR saat itu pada 1999 mengakui hasil jajak pendapat.

Sejak itu, katanya, Indonesia, yang bertekad mengembangkan hubungan bertetangga baik yang rekonsiliatif mencari cara mengatasi beban sejarah masa lalu dan melangkah melihat masa depan. Sejak awal 2000, kedua pemerintahan pemerintahan mencari pemecahan masa lalu, yang terjadi menjelang, selama, dan segera setelah jajak pendapat.

"Pertama melalui pendekatan hukum dan cara kedua melalui pendekatan kebenaran dan persahabatan yang tidak berujung pada peradilan. Kedua pemerintahan sepakat untuk menempuh yang kedua melalui Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Juga harus diketahui, adalah presiden, waktu itu Menteri Luar Negeri Horta dan Xanana, yang menganjurkan kepada pemerintah Indonesia memilih kata persahabatan karena rekonsiliasi sesungguhnya telah terjadi," katanya.

Hasilnya telah diterima, dan Juli lalu telah dilaporkan kepada kedua kepala negara. Kedua pemerintah dan negara yang demokratis dipilih rakyat, untuk memajukan rekonsiliasi dan persahabatan. (*)