Jenewa (ANTARA News/AFP) - PBB hari Jumat mendesak China menjamin "perlakuan manusiawi" dan melaksanakan persidangan yang adil pada orang-orang yang ditahan terkait dengan kerusuhan di Tibet tahun lalu dan kekerasan di Xinjiang pada Juli.

Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial PBB meminta agar tahanan bisa memilih pengacara mereka sendiri, diperlakukan dengan praduga tak bersalah dan diberi hukuman yang proporsional bagi mereka yang dinyatakan bersalah.

Pernyataan komite PBB itu disampaikan setelah mempertimbangkan catatan-catatan China.

Beijing mengatakan selama pemeriksaan di PBB pada 7 dan 10 Agustus bahwa mereka telah membebaskan 1.231 orang yang ditahan pada saat kerusuhan Tibet setelah mereka "dihukum, membuat pernyataan penyesalan dan dididik oleh pihak berwenang pengadilan di Tibet".

Tujuhpuluh-tujuh orang dituduh melakukan pelanggaran-pelanggaran serius seperti pencurian, pembakaran dan mengganggu pengadilan, sementara tujuh orang lagi dituduh melakukan aksi mata-mata.

Beijing menambahkan, 718 orang masih ditahan berkaitan dengan kerusuhan di Xinjiang, dan sekitar 83 orang menghadapi tuduhan-tuduhan kejahatan serius seperti pembunuhan, pembakaran dan perampokan.

Dalam kesimpulannya Jumat, komite PBB tersebut mengakui tugas China menjaga ketertiban umum setelah kerusuhan itu namun menyatakan "khawatir" atas tuduhan-tuduhan mengenai penggunaan kekuatan yang tidak proporsional terhadap orang-orang etnik Tibet dan Uighur di Xinjiang.

Komite itu merekomendasikan agar China meningkatkan upaya-upaya di wilayah barat, yang mencakup Tibet dan Xinjiang, untuk mengatasi kesenjangan ekonomi dan sosial.

Beijing mengatakan, sedikitnya 197 orang tewas dalam kerusuhan pada 5 Juli di ibukota Xinjiang, Urumqi, antara orang-orang minoritas Uighur dan kelompok enik dominan China Han.

Kekerasan yang dialami orang Uighur itu telah menimbulkan gelombang pawai protes di berbagai kota dunia seperti Ankara, Berlin, Canberra dan Istanbul.

Orang Uighur berbicara bahasa Turki dan Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan adalah yang paling keras melontarkan kecaman dan menyebut apa yang terjadi di Xinjiang sebagai "semacam pembantaian".

Orang-orang Uighur di pengasingan mengklaim bahwa pasukan keamanan China bereaksi terlalu berlebihan atas protes damai dan menggunakan kekuatan mematikan.

Delapan juta orang Uighur, yang memiliki lebih banyak hubungan dengan tetangga mereka di Asia tengah ketimbang dengan orang China Han, berjumlah kurang dari separuh dari penduduk Xinjiang.

Bersama-sama Tibet, Xinjiang merupakan salah satu kawasan paling rawan politik dan di kedua wilayah itu, pemerintah China berusaha mengendalikan kehidupan beragama dan kebudayaan sambil menjanjikan petumbuhan ekonomi dan kemakmuran.

Beijing tidak ingin kehilangan kendali atas wilayah itu, yang berbatasan dengan Rusia, Mongolia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan dan India, dan memiliki cadangan minyak besar serta merupakan daerah penghasil agas alam terbesar China.

Namun, penduduk minoritas telah lama mengeluhkan bahwa orang China Han mengeruk sebagian besar keuntungan dari subsidi pemerintah, sambil membuat warga setempat merasa seperti orang luar di negeri mereka sendiri.

Beijing mengatakan bahwa kerusuhan itu, yang paling buruk di kawasan tersebut dalam beberapa tahun ini, merupakan pekerjaan dari kelompok-kelompok separatis di luar negeri, yang ingin menciptakan wilayah merdeka bagi minoritas muslim Uighur.

Kelompok-kelompok itu membantah mengatur kekerasan tersebut dan mengatakan, kerusuhan itu merupakan hasil dari amarah yang menumpuk terhadap kebijakan pemerintah dan dominasi ekonomi China Han.(*)