Jakarta (ANTARA News) - Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Darmin Nasution mengatakan, "nett interest margin` (NIM/selisih bunga kredit dan deposito) perbankan saat ini masih belum normal seperti saat sebelum krisis 1998 sehingga perbankan dinilai masih belum efisien.

"NIM tidak efisien dibandingkan sebelum krisis 1998. Sebelum krisis (1998) NIM saat itu 350 basis poin (3,5 persen), namun setelah krisis ada hal-hal yang membuat NIM meningkat, sekarang telah turun tapi belum banyak, NIM perbankan masih tinggi di atas 500 basis poin (5 persen)," katanya seusai buka bersama di Bank Indonesia Jakarta, Jumat.

Ia mengatakan, saat ini banyak negara yang memiliki NIM perbankannya telah mencapai 350 basis poin saat ini. Namun untuk Indonesia saat ini penurunan NIM menjadi 3,5 persen masih sangat sulit.

Menurut dia, peningkatan NIM perbankan saat itu karena perbankan yang kolaps dan banyaknya kredit macet. Akibatnya risiko bertambah, dan mendorong bunga perbankan.

"Selain itu, bank-bank besar yang direkap, dia kemudian sebagian dari aset itu lebih besar dalam bentuk surat berharga, returnnya lebih banyak," katanya. Hal ini yang kemudian mendorong bunga tinggi tidak efisien.

Ia menambahkan, usaha perbankan untuk memperbaiki sistem informasinya juga menelan biaya yang besar. Alhasil, membuat bank pascakrisis untuk sementara waktu tidak efisien.

Ia mengatakan, untuk menurunkan NIM perbankan diantaranya dengan mendorong pendapatan di luar bunga (fee base income) perbankan. "Karena fee base lebih besar, tidak ada biaya membayar bunga," katanya.

Ia menambahkan, pendapatan fee base tersebut dilakukan dengan meningkatkan pelayanan terhadap nasabah.

Sementara itu, ia menambahkan kesepakatan penurunan suku bunga deposito menjadi delapan persen tidak bisa untuk menurunkan NIM perbankan. Sebab kebijakan tersebut bukan untuk menurunkan NIM perbankan, namun lebih ditujukan untuk mendorong penurunan bunga kredit.

"Tidak ada kebijakan yang membuat NIM turun," katanya.(*)