Tanjungpinang (ANTARA) - Pemberlakuan kenormalan baru (new normal) di tengah pandemi COVID-19 harus melalui kajian tim ahli, bukan berdasarkan kesepakatan dalam rapat pemerintahan, kata pengamat hukum tata negara, Pery Rehendra Sucipta.

"Kajian akademik terkait 'new normal' itu sebagai landasan untuk melahirkan regulasi berupa peraturan kepala daerah," ujarnya, di Tanjungpinang, Minggu.

Pery yang juga Ketua Laboraturium Ilmu Hukum Universitas Maritim Raja Ali Haji menjelaskan kajian itu dibutuhkan karena ada syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam menetapkan suatu daerah memberlakukan kenormalan baru atau tidak. "New normal" merupakan istilah yang dibangun oleh WHO sehingga untuk menerapkannya juga sebaiknya menerapkan kebijakan itu harus memenuhi syarat yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia tersebut.

Baca juga: Akademisi: Sektor pariwisata perlu standar baru hadapi "New Normal"
Baca juga: GPIB berkoordinasi dengan BNPB untuk normal baru peribadahan di gereja


Ia menjelaskan, syarat kenormalan baru menurut pakar dari WHO yakni harus menunjukkan bukti bahwa transmisi COVID-19 bisa dikendalikan, dan kapasitas sistem kesehatan dan kesehatan masyarakat termasuk rumah sakit tersedia untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak dan mengkarantina pasien yang terinfeksi;

Selain itu, risiko wabah diminimalkan dalam pengaturan tinggi, terutama di rumah-rumah para lanjut usia, fasilitas kesehatan mental, dan orang-orang yang tinggal di tempat-tempat ramai, menetapkan langkah-langkah pencegahan di tempat kerja, dengan melakukan jarak fisik, fasilitas mencuci tangan, serta etiket pernapasan di tempatnya.

Syarat lainnya yakni risiko pencegahan imported case dapat dikelola, dan masyarakat memiliki suara dan ikut terlibat dalam transisi baru ini.

"Dari syarat tersebut, tergambar bahwa tidak serta-merta daerah yang ditetapkan sebagai zona hijau dapat melaksanakan tatanan kehidupan baru," jelasnya.

Baca juga: Bursah Zarnubi: Belajar dari kegagalan Korsel terapkan normal baru
Baca juga: PT Angkasa Pura II rumuskan protokol antisipasi "new normal"


Lebih jauh Pery mengemukakan kajian akademik "new normal" diperlukan untuk memastikan apakah daerah memenuhi syarat menerapkan kebijakan itu atau tidak. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, seharusnya tidak dipaksakan sehingga kebijakan itu tidak menimbulkan permasalahan yang lebih besar.

Pelonggaran aktivitas masyarakat, terutama di ruang publik melalui kebijakan itu masih rencana yang dibangun pemerintah pusat. Selama ini, sejumlah pemda dan masyarakat salah persepsi terhadap rencana itu, seakan-akan "new normal" menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan di setiap daerah.

"Presiden Jokowi tidak menunjukkan sikap atau kebijakan memberlakukan 'new normal' di mal, melainkan meninjau kesiapan pemberlakuan kebijakan itu. Jika tidak siap, tentu tidak dilaksanakan," tuturnya.

Pery juga menilai tidak semua anggota masyarakat memiliki pemahaman yang sama terhadap kenormalan baru. Bahkan sebagian dari mereka menganggap "new normal" seperti melaksanakan aktivitas secara normal, seperti sebelum ada pandemi COVID-19.

Sebagai contoh, di ruang publik dan tempat ibadah, banyak jamaah yang tidak mematuhi protokol kesehatan.

"Perlu dilakukan sosialisasi secara massif untuk meredusir pemikiran yang keliru tersebut, karena wacana itu sudah menyebar luas. Apalagi masing-masing daerah akan melaksanakan kebijakan itu, sementara sampai sekarang belum terlihat hasil kajiannya," ujarnya.

Baca juga: HMS Center: Normal baru perlu kajian yang komprehensif suatu wilayah
Baca juga: Ridwan Kamil tinjau kesiapan normal baru di rumah ibadah zona biru